Apa dan siapa yang dalam kehidupan ini belum pernah berdoa. Konon itu pujian, harapan, permintaan. Keinginan, serta menuju lebih baik. Emang ada doa buruk, doa untuk menyengsarakan dhiri. Tentu ada, dan yang pasti ada. Dan ALLAH Maha tahu terbaik bagi hamba seperti kita ini.
Wednesday, November 25, 2020
Perjalanan Doa
Apa dan siapa yang dalam kehidupan ini belum pernah berdoa. Konon itu pujian, harapan, permintaan. Keinginan, serta menuju lebih baik. Emang ada doa buruk, doa untuk menyengsarakan dhiri. Tentu ada, dan yang pasti ada. Dan ALLAH Maha tahu terbaik bagi hamba seperti kita ini.
Tuesday, November 24, 2020
umur serta Cita-cita Masa Depan
Setidaknya tulisan ini selalu menganggu pikiran says, mungkin juga kalian yang sudi membaca dengan meluangkan waktu, kok visa lalu mau membaca keluhan orang main. Kalaupun bukan keluhan, ini sebagai ungkapan pembacaan.
Thursday, November 5, 2020
Mbanyuwangi, lalu nggrantes yang Bahagia
Sunday, November 1, 2020
Hai November, dan Hari Penting Oktober
Friday, October 30, 2020
Oktober, Bintaro, dan Merawat Luka
Friday, October 16, 2020
sepanjang Jalan Simatupang
Tuesday, October 13, 2020
marhen, Buruh, dan Kenangan
Friday, October 9, 2020
Warung Jurang Bojong Koneng, Bogor
Bojong Koneng itu mana sih, rutenya mana, dan
bla,,bla jika anda punya pertanyaan banyak. Tenang, tetap tenang. Bojong Koneng
itu dekat, sekat sekali...di hatimu...wkkkw..wkkkw tentu deket banget dengan
hatimu, malah deket banget lho. Itu bila kamu suka ketinggian, gunung, alam,
hijau, langit, dan tentu udara yang adhem. Ini deket sekali, ini lho rutenya...
11 Sentul atau pintu tol Sirkuit
Pernah lewat sirkuit sentul? pasti belum pernah, ya
iyalah nggak semua orang bisa masuk sirkuit. Setidaknya baiklah paling di
depannya, atau sampingnya. Kalau belum pernah ke sirkuit sentul coba googling
deh, gampang kan. Atau ketika keluar pintu tol sirkuit kiri kan, terus mentok
gerbang sirkuit belok kanan, arah ke hotel Haris, jalannya sekarang coran dan alus
pisan lho. Terus saja ikutin jalan itu, terus saja. Terus
saja, santai jalannya lebar dan membuatmu nyaman, tapi jangan ketiduran bos….bahaya
soalnya rame mobil tangki air atau mobil molen..bremm
Sampai deh sebelah hotel Haris, bisa lurus atau
belok kiri, kalau kiri kita melewati pasar Babakan madang, lha di pertigaan
pasar kita ambil kanan, kalau lurus itu ke guung pancar..uhuiii lengkap ya
kalau pingin wisata. Setelah kanan tentu kita menemui polsek Babakan Madang ada
sih setelahnya pertigaan kita yang ke kiri, kalau kanan kita melewati
terowongan dan ini menuju desa Cijayanti.
Atau kalau dari hotel Haris kita yang lurus
bertemu dengan LOVE, tahu nggak itu ikon kota Sentul, kalau lurus ke masjid Andalusia,
kita ambil kiri deh, menuju ke Sentul city, ada juga plang Jungle Land, lha
kita lurus tuh…hingga lewat gerbang sentul dan menikmati hijau adhem
pemandangan. Pingin kan….
2. Pintu tol Sentul selatan
Tinggal ambil kiri kan, lurus dan ikutin jalan
itu. Ketemu puteran ikon LOVE bisa baca di atas ya bos….
3. Rainbow Hill
Kalau lewat jalur ini kita menuju desa Cijayanti,
keluar gerbang kan kanan…terus ikutin saja jalannya hingga nantimentok 0 KM sentul,
kita ambil kanan turunterus paling sekiloan lah…satu kilometer bos…
Pingin kan, atau enggak…lihat dan coba dulu…
rempoa, oktober
Thursday, October 1, 2020
Batik dan Jarit Ibu
Wednesday, September 30, 2020
Surau di atas Bukit
Apa engkau tahu kenapa orang tua itu selalu berada di shaff pertama? Sebelum azan terdengar, akan ada langkah datang, ketukan tiga kali-dua kakinya dan satu tongkat kayu yang licin sebab gesekan tangannya. Apa engkau juga tahu kenapa ia bisa buta? Tak banyak yang tahu keberadaan dan muasal orang tua itu, sebab ia jarang berdiam di satu masjid. Apa engkau juga tahu berapa masjid yang sudah ia kunjungi? Ah, saya yakin kehadiran orang tua itu mungkin saja hanya menganggu pandanganmu, atau malah menganggu niatmu.
Bila sempat atau sekedar lewat di kota itu pasti akan berjumpa dengan angin yang sejuk. Tanah yang berkelok tak rata. Tanaman hijau menyebar- melayangkan mata pada surga, pada keindahan yang kentara. Gunung Lawu memang elok dalam lukisan sang pencipta, gagah memaku tanah agar tak goyah. Hanya sayang, sungguh memang sayang. Dulu di bukit sebelah timur ada satu bangunan yang terlihat manis. Bangunan mungil yang bila malam cahaya pethromaknya memerangi luas gelap malam di sekitarnya. Sebuah Surau yang senantiasa terdengar alunan orang mengaji, padahal bila siang surau hanya ada mbah Jogo. Tak banyak yang tahu kenapa suara mengaji itu sering terdengar, walau siang hari. Dan kini surau itu seolah tanggal dari lukisan, hilang melayang oleh kenangan.
Dan hanya sedikit kisah yang bisa aku dengar tentang orang tua itu. Kisah yang hanya menjadi dongeng sebelum tidur. Sebab kami hanya mendengarnya, sekali lagi hanya mendengar. Kisah yang masuk lewat telinga kanan dan keluar dari kiri, tak benar-benar kami merenungkan yang terjadi. Tentu dongeng tentang orang tua itu. Tentu dongeng tentang surau di atas bukit, dan kejadian yang membuatnya buta.
**
Seperti ada yang lain, sesuatu yang kurang. Suara alunan ayat-ayat suci itu beberapa hari ini tidak terdengar lagi. Pasti dan selalu ditunggunya adalah ketika Ayah pulang dan kemudian terdengar alunan nada yang sangat mendayu, menyentuh telinganya, bergetar dan perlahan mengalir dan menimbulkan ledakan yang cukup dahsyat di hatinya lalu menaburi segenap jiwanya. Rasa damai, ketenangan dan bergumpal cahaya. Cahaya itu akan ditatapnya, persis seperti dulu.
Duduknya semakin gelisah, badannya yang kecil terlihat semakin mungil, kedua lutut tercium wajah dan ada sedikit kekawatiran.
“Ayah belum pulang, Mak?”
Emak tak menjawab, tangannya masih sibuk dengan ubi, menguliti, memilah, dan mengumpulkan kulitnya pada keranjang. Mimik wajahnya memperhatikan anaknya, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan. Ia tak tahu kenapa suaminya belum pulang.
“Masih lama ya, Mak, Ayah pulang?”
“Masih lama, tidur saja!”
“Belum ngantuk, Mak.”
Sebentar kemudian emak hanya melihat sekilas anak semata wayangnya dengan kasihan. Ia tahu bukan sebab ia belum mengantuk. Emak tahu anaknya itu ingin mendengar suara ayahnya mengaji.
Araaf terus saja gelisah, dengan tertatih mendekat ke meja, tangannya ingin meraih gelas yang berada di meja, tangannya tak sengaja menyenggol gelas yang berisi air dan tumpah. Araaf kaget, air membasahi bajunya. Emak hanya melihat dengan rasa kasihan. Emak selalu teringat pesan Kahar, suaminya bila Araaf jangan sampai terkena kata-kata yang kasar.
“Mak, bajunya basah lagi.”
“Nggak apa, ganti yang kering. Pakai kaos saja!. Ayah akan pulang larut malam.”
Arraf hanya mengangguk dan lepas menuju lemari pakaian. Semula ia hendak memakai kaos, tetapi diurungkan saat dari luar ayahnya uluk salam. Bola matanya kembali terang.
Araaf akan kembali mendengar bagaimana cerita ayahnya tentang Mbah Jogo, suaranya yang merdu, nasihat sederhana namun meresap di hati. Pendengar seolah akan tergerak mengikuti, walau sebenarnya nasihat yang diberikan sering terdengar. Entah mengapa nasihat yang diberikan Mbah Jogo seolah membentur palung paling dalam dari hati. Konon nasihat Mbah Jogo mudah dilaksanakan sebab sudah diamalkan sendiri, tak sekedar teori yang didapat. Amalan itu telah mengakar dalam hidupnya sehari-hari. Orang yang melihatnya seolah mengikuti yang dikerjakan beliu.
Begitu juga Araaf yang dengan mudah menunaikan nasihat. Makan dan minum dengan tangan kanan, membaca doa, mendoakan orang tuanya, membantu emak mengantar gethuk ke warung-warung. Dan sering ia dengan dari kedua orang tuanya, Kahar dan istrinya senantiasa bersabar, menjalani hidup dengan banyak bersyukur walau kekurangan. Nasihat yang mudah diterima, dan mudah dijalankan.
Kahar baru saja membaca taawudz, kemudian dari pintu sudah terdengar salam dan ketukann yang seperti terburu-buru. Wajah Araaf bingung,
“Siapa, pak?”
“Kita lanjutkan besok saja, baca doa lalu tidur!”
Arraf mencium tangan ayahnya, walau sang ayah pandangannya menuju ke pintu dengan rasa khawatir. Sang emak mengajak anak kecil itu ke kamar, menutup gorden dan meninabobokan.
“Ada yang membakar surau, Kang. Api sudah membakar sebagian, jamaah yang lain masih berusaha menyiram.”
Kahar ragu, apakah akan pamit atau langsung ke surau. Ia ingat pesan Mbah Jogo: Sebaiknya berpamit kepada istri jika ingin bepergian, agar kepergian disertai keikhlasan dan doa. Kahar memutuskan masuk ke kamar menyusul istrinya. Tak berselang lama Kahar keluar dengan tergesa. Keduanya menuju ke Surau.
Sebentar kemudian anak kecil itu berjalan mengendap-endap. Langkahnya pelan agar tak membangunkan emaknya, membuka pintu dan mendapati gelap yang pekat. Ia berlari menuju surau, jalanan setapak turun-naik itu seolah jalanan lebar dan halus. Kaki mungilnya hapal dengan jalanan itu. Setiap hari jalanan itu memberi pesan dan nasihat agar selalu berhati-hati. Setelah mendengar surau milik Mbah Jogo terbakar, pesan itu seolah lenyap. Ia harus berlari dan membantu mencari air untuk menyiram.
Api itu seperti monster menakutkan, memeluk surau dengan kekar. Kaki mungil Arraf bergetar melihat api berkobar dan orang-orang berlarian menyiram. Tiba-tiba terdengar suara ledakan, beberapa kayu terlempar dan mengenai kepala Arraf. Tak ada yang tahu kejadian itu, mereka sibuk dengan air dan Mbah Jogo yang tak kelihatan.
Pagi hari, setelah bangunan surau rata dengan tanah anak kecil itu tersenyum di bawah kayu yang menindihnya. Pandangannya gelap, ia tak melihat siapa-siapa.
“Araaf kenapa kamu di sini.”
Arraf hanya diam, ia tak bisa melihat siapa yang bertanya. Kahar membopong anaknya pulang. Beberapa warga sibuk membersihkan sisa kebakaran.
**
Sekarang engkau tahu siapa lelaki itu bukan. Kami hanya suka mendengar dongeng ini, dan mungkin kelak anak-anak kami juga akan kami dongengkan hal yang sama. Pernah beberapa tetangga kami yang kebetulan bertemu dengannya hendak memberi uang sebagai penghormatan yang lebih tua, ia akan menolak. Rasa kasihan menurutnya lebih banyak melupakan dirinya, selama masih ada ia akan menghilangkan rasa iba orang kepada dirinya. Meskipun buta, lelaki itu masih berdagang. Setiap orang yang ditemui tak semuanya ditawari barang dagangannya. Dan bila engkau ditawari batu, terima saja. Sebab batu itu bukan sembarang batu. Itu batu dari olahan tangannya. Batu yang direnteng sejumlah tiga puluh tiga. Dan jangan banyak bertanya bagaimana batu-batu itu bisa direntengnya. Hasil penjualannya akn disisihkan untuk membeli bahan bangunan. Memang, ia telah mengumpulkan beberapa bahan bangunan di rumahnya. Ia bermimpi memiliki surau, walau banyak masjid megah di pegunungan Lawu. Masjid yang katanya sepi itu akan membuatnya tersiksa. Ia ingin membangun surau agar nyaman hidupnya. Dan jangan bertanya tentang tasbih batu itu, sebab jawabnya pasti sama,
“ Agar hatimu tak lekas membatu.”
Omah Gedheg 2012
Sunday, September 27, 2020
Martabak dan Saya
Saturday, September 26, 2020
Bertanam Kangkung di Hati
Setidaknya waktu Sekolah Menengah saya pernah beternak kelinci, tahun 2000 an awal. Kelinci itu didapat dari membeli, ketika melihat bentuk dan warna yang menarik lalu membawanya pulang ke rumah, membuat kandang dengan bentuk rumah kecil dari kayu. Bukan sebab punya duit lalu pakai bahan kayu, kebetulan selain petani ayah saya adalah tukang kayu. Limbah kayu dimanfaatkan sebagai dinding kandang dan atapnya memakai genteng beneran. Lalu yang membuat hari saya berwarna adalah ngarit. Mencari pakan bagai peliharaan seperti sunnah bagi peternak. Keasyikan dan romantika mencari ini seperti rutinitas yang membuat bosan, dan kadang ngangenin.
Sebab kelinci suka kangkung, begitu anggapan saya waktu itu. Bisa tiga hari sekali pada mulanya ngarit mencari kangkung. Pekerjaan mencari ini sebab saya tak menanamnya. Tanaman kangkung sebenarnya mudah ditemui. Kangkung yang tumbuh di air dan memiliki bunga putih. Bunganya seperti terompet dengan di tengahnya warna ungu. Bagi saya warna ini begitu cantik, tetapi dengan tega saya memutus keindahannya. Membuat kangkung meregang hidup, pasrah dengan kuasa tangan dan ambisi demi keberlangsungan pertumbuhan kelinci saya. Tentu masih ada halangan jika ngarit di sungai, rawa, atau yang berair. Di lahan tersebut bisa saja ada ular, yang tentu ular yang beraneka macam dengan bisanya- mengancam kaki, tangan, kalau perlu mengancam nyawa. Inilah mungkin yang membuat bosan dan membuat tak nyaman ketika ngarit.
Kelinci itu mudah berkembang, pakan yang mudah didapat, serta ruang kandang yang lega. Hanya sayang, sebab alasnya tanah tanpa plester maka kelinci membuat tempat persembunyian, membuat rongga tanah dan menjalar ke segala arah. Tanah menjadi tak beraturan dan ini yang membuat tidak nyaman. Salah satu jalan kemudian harus membuat kandang dengan panggung. Dan kandang ini bukan tanpa hambatan. Memang segala sesuatu tak ada yang mulus, ...
Baiklah sebenarnya saya hanya ingin menyampaikan tentang kangkung, tanaman ini yang mudah tumbuh dengan kadar air yang harus ada. Sebenarnya, setelah saya mencari tahu dikemudian hari ada kangkung darat, tetapi saya belum pernah sekali menemukan. Mungkin sudah tidak valid, membayangkan kangkung yang ditanam ditegalan atau bahkan kebun menjadi sulit untuk digambarkan.
Setelah berjalan tahun, dan kemudian ada kehidupan yang lain. Bertanam kangkung menjadi trend petani modern. Saya menyebut petani ini modern sebab bertani hanya hobi dan menyalurkan naluri. Media yang dipakai juga sederhana, tak berjalan jauh dari dapur dan kasur. Mereka bisa menanamnya di garasi, di atas cucian piring atau diroftoop. Cara tanam Kangkung modern sungguh membuat bahagia, tanpa target, tanpa berpikir gagal. Ketika panen bisa dimasak, dibagi ke tetangga, dan yang pasti bisa buat konten swaphoto. Bertanam kangkung bisa menjadi bahagia, berbagi di laman jejaring sosial dengan senyum
Dengan uang sepuluh ribu sudah mendapat 500 biji bibit. Tentu perlu menyemai, menanamnya, merawatnya, menyirami dan memberi nutrisi. Pelbagai teknik bisa dengan mudah dicari dengan gawai di tangan. Angan itu mudah. Bertanam kangkung sangat mudah. Bertanam mudah itu dengan hati riang, bahan pokok tersedia, tabungan ada, keluarga tak sehat tak ada yang sakit. Maka bertanamlah kangkung, menyemai bibit untuk belajar bahagia.
Adakah kebahagian lahir dari keterpaksaan?
selamat menikmati bahagia dengan Kangkung.
Chandra Baru, 27 sept 2020
Hari Tani, Petani, dan Kota
Ketika tonggak pertanian dicanangkan Soekarno, Keppres No 169/1963, sebagai kenangan Undang Undang Pokok Agraria ,UU No 5/1960 Petani seolah mendapat angin Segar. Keberadaan Petani seolah menjadi mulia terhadap keberlangsungan negara. Hal ini kembali diungkapkan Soekarno ketika peletakan batu Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang sekarang menjadi IPB. pertama
: Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita dikemudian hari. begitu uraian tentang pangan sebagai hal pokok untuk kemajuan bangsa.
Sektor pertanian memiliki andil dalam 15,46% pada PDB Indonesia, di triwulan II -2020 tentu ini bukan teori yang didapat oleh BPS, sektor pertanian menjadi alat pacu ekonomi, walaupun sektor ini semakin hari semakin bergantian stakeholder, kepentingan seolah terpinggirkan.
Teringat dalam catatan, 1984 Soeharto menggebrak dengan swasembada pangan, tahun itu Indonesia diakui dunia. Terlepas Dari strategi ataupun iming iming untuk investor asing setidaknya swasembada pangan terus menjadi buah bibir pertanian dan kemajuan negeri. Dan selanjutnya kebijakan orde baru, reformasi dan pasca reformasi apakah berpihak kepada Petani?
Ayah saya adalah Petani, seusai shalat subuh dengan sepeda kumbang menuju sawah, dulu tanah di Jetis, Joho, di Sukoharjo adalah tanah untuk sawah. Ada sungai untuk irigasi yang lumayan besar, tentu sebelum industri tekstil Sritex menjadi sebesar Sekarang. Ayah saya hanya Petani kasar, tanpa pekerja, bila semua dikerjakan sendiri.
Dan mungkin keterbatasan saya kemudian tak mengenal hari Tani atau semacam perayaanya. Petani dalam bingkai mata saya adalah mengolah sawah, membayar iuran DharmaTirta atau membeli Pupuk berapapun harganya. Sebab ketahanan pangan keluarga lebih penting dari pada tethek bengek tentang negara.
Setidaknya Petani terus berupaya melestarikan ketahanan pangan keluarga, jika mereka mencari keuntungan lebih besar dan mulai berdagang itu mungkin hanya ingin beriringan dengan jaman. Maka tak heran dari beberapa group Facebook yang saya ikuti hanyalah berisi keluhan. Seabrek kebijakan, tapi tak beriring dengan kebutuhan Petani. Sebutlah tentang kartu Tani dan pupuk. Mereka ingin beli pupuk, namun pupuk ternyata langka. Mereka bisa beli pupuk, bisa subur, hasil bagus-melimpah tapi harga anjlok, rusak dan mereka hanya membuang atau membiarkan.
Bertani adalah naluri, untuk berekpresi dan bertahan. Di kota sudah marak dengan pertanian jaman ini. Hidroponik mungkin salah satu pilihan untuk memanfaatkan lahan dan juga menyalurkan naluri bertani.
Setidaknya, terima kasih Petani, selamat Hari Tani, semoga tetap istiqomah di jalan ini
Rempoa, 26 Sept 2020
Friday, September 25, 2020
Hari Tani, Petani, dan Kota
Ketika tonggak pertanian dicanangkan Soekarno, Keppres No 169/1963, sebagai
kenangan Undang Undang Pokok Agraria ,UU No 5/1960 Petani seolah mendapat angin
Segar. Keberadaan Petani seolah menjadi mulia terhadap keberlangsungan negara.
Hal ini kembali diungkapkan Soekarno ketika peletakan batu Fakultas Pertanian
Universitas Indonesia yang sekarang menjadi IPB. pertama
: Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa
kita dikemudian hari. begitu uraian tentang pangan sebagai hal pokok untuk
kemajuan bangsa.
Sektor pertanian memiliki andil dalam 15,46%
pada PDB Indonesia, di triwulan II -2020 tentu ini bukan teori yang
didapat oleh BPS, sektor pertanian menjadi alat pacu ekonomi, walaupun sektor
ini semakin hari semakin bergantian stakeholder, kepentingan seolah
terpinggirkan.
Teringat dalam catatan, 1984 Soeharto menggebrak
dengan swasembada pangan, tahun itu Indonesia diakui dunia. Terlepas Dari
strategi ataupun iming iming untuk investor asing setidaknya swasembada pangan
terus menjadi buah bibir pertanian dan kemajuan negeri. Dan selanjutnya
kebijakan orde baru, reformasi dan pasca reformasi apakah berpihak kepada
Petani?
Ayah saya adalah Petani, seusai shalat subuh
dengan sepeda kumbang menuju sawah, dulu tanah di Jetis, Joho, di
Sukoharjo adalah tanah untuk sawah. Ada sungai untuk irigasi yang lumayan
besar, tentu sebelum industri tekstil Sritex menjadi sebesar Sekarang. Ayah
saya hanya Petani kasar, tanpa pekerja, bila semua dikerjakan sendiri.
Dan mungkin keterbatasan saya kemudian tak mengenal
hari Tani atau semacam perayaanya. Petani dalam bingkai mata saya adalah
mengolah sawah, membayar iuran DharmaTirta atau membeli Pupuk berapapun
harganya. Sebab ketahanan pangan keluarga lebih penting dari pada tethek bengek
tentang negara.
Setidaknya Petani terus berupaya melestarikan
ketahanan pangan keluarga, jika mereka mencari keuntungan lebih besar dan mulai
berdagang itu mungkin hanya ingin beriringan dengan jaman. Maka tak heran dari
beberapa group Facebook yang saya ikuti hanyalah berisi keluhan. Seabrek
kebijakan, tapi tak beriring dengan kebutuhan Petani. Sebutlah tentang kartu
Tani dan pupuk. Mereka ingin beli pupuk, namun pupuk ternyata langka. Mereka
bisa beli pupuk, bisa subur, hasil bagus-melimpah tapi harga anjlok, rusak dan
mereka hanya membuang atau membiarkan.
Bertani adalah naluri, untuk berekpresi dan
bertahan. Di kota sudah marak dengan pertanian jaman ini. Hidroponik mungkin
salah satu pilihan untuk memanfaatkan lahan dan juga menyalurkan naluri
bertani.
Setidaknya, terima kasih Petani, selamat Hari
Tani, semoga tetap istiqomah di jalan ini
Rempoa, 26 Sept 2020
Thursday, September 24, 2020
Hujan Es di Bogor
Sunday, September 13, 2020
Baim Wong, Nenek Iro, Dan Tegal
Palemboko, tempat nyaman penuh pesona
Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan dan me...
-
Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan dan me...
-
Apa dan siapa yang dalam kehidupan ini belum pernah berdoa. Konon itu pujian, harapan, permintaan. Keinginan, serta menuju lebih baik. Emang...
-
Tak ada tempat di Bogor itu biasa bisa saja, mungkin hanya belum ditemukan atau belum diunggah di media sosial. Satu yang baru, dan sekaran...