Tuesday, December 31, 2013

Pertemuan Cinta di Tugu Jogja


Liburan akhir tahun yang sepertinya akan lain,  yang sedianya  janjian dengan teman-teman kantor telah berubah seketika. Aku harus pulang, kepulangan yang sebenarnya sudah diperhitungkan beberapa bulan sebelumnya, tetapi apakah bisa menolak ajakan teman-teman tanpa alasan penolakan yang jelas. Dan benar, memang firasat anak kepada ibunya tak pernah luput. Aku kini benar-benar menuju ibu. Ibu dibawa ke rumah sakit ketika mengunjungi mbk Ira yang tinggal di Jogja.
Lima menit begitu lambat waktu merambat. Bila terlambat toh paling tak sampai puluhan menit. Ini sudah Stasiun Tugu sebentar lagi Lempuyangan, dan kereta akan berhenti. Beginilah kalau sedang hati yang tak menentu. Ini soal rasa khawatir, tapi entah mengapa rasa yang bertumbuh tak juga lekas rubuh. Ini tentang rasa berdosa yang seolah monster paling menakutkan. Berita bahwa ibu dibawa ke Rumah Sakit menjadi anak panah yang dilepaskan dari busur paling dekat,  melesat dan tepat mengenai kepala. Bagaimana tidak, setelah aku menerima telepon dari beliu, sejam kemudian mbak Ira menelepon mengabarkan ibu dibawa ke rumah sakit.
Seolah gempa, gempa kecil yang terus mengguncang kepala.
Mungkin rasa itu memang tak bisa hilang,. Sementara penumpang sudah mulai bersiap, menjinjing barang, mencangklek tas, merapikan rambut, dan mulai berjalan ke bordes. Aku juga mengikuti mereka,  berdiri, berjalan  diantara para penumpang yang berebutan untuk berkemas keluar. Masih saja ada sesuatu yang  mengganjal. Masih  juga terngiang perintah ibu agar aku pulang, dan masih jelas kuingat alasanku untuk tidak pulang.
“Teman-teman ngajak liburan.”
Ah, bila ingat kalimat itu sepertinya sebal dan tersenyum sendiri. Apakah ibu bisa disejajarkan dengan teman-temanku. Bisa disamakan dengan hiburn teman-temanku yang hanya bersenang-senang. Menyesal sekali aku dengan jawaban itu. Aku menyesal, sungguh menyesal.
Kini aku sudah berdiri di stasiun Lempuyangan. Tiba-tiba wajah yang berada di stasiun  berubah menjadi wajah Ibu. Mereka sepakat dengan memberiku  seulas senyum kecut atas kepulanganku kali ini. Tatapan  mata  seakan membuatku bersalah, seharusnya aku memang menuruti perintahnya dan juga mengikuti hal yang diucapkannya. Apakah kini aku sudah boleh disebut anak durhaka?
Ini semua hanya tentang aku, prasangka dan perjodohan. Aku mengira kangen ibu hanya alibi  agar aku mau pulang, bukankah lebaran kemarin aku seminggu di rumah. Seperti kepulanganku sebelumnya, bahwa setelah sampai di rumah maka aku akan dikenalkan dengan putri sahabatnya. Kadang teman waktu Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, teman kuliah atau  kenalannya saat masih bertugas  di kantor pos.
“Sudah tiba umurmu untuk berkeluarga, dan semua perempuan yang ibu ajukan semuanya kamu tolak.”
“Bukan aku yang menolak, Bu, mereka.”
“Tetap saja. Sama saja, sebab engkau tak berusaha mendapatkannya.”
“Mungkin tak berjodoh.”
“Tak berjodoh? Engkau tak mencari!”
Dialog  hampir sama, yang terus berulang. Hingga lupa berapa kali terbilang dari mulutku, ah semoga bukan sebuah kedurhakaan.
Sebenarnya aku sudah punya pilihan. Lebih tepatnya pernah menjalani hubungan dengan seorang perempuan. Sejak kami sekolah, kuliah, kami sering bersama. Dan ibu juga tahu dan mengenalnya. Hanya saja ibu tidak setuju, hingga hari ini keputusan itu tak berubah. Selama ini aku diam tak mengungkit-ungkit itu lagi. Mungkin hal ini yang membuat aku durhaka. Memendam benci kepada ibuku sendiri.
Selayaknya anak muda, masa sma adalah periode suka jalan dan main ke tempat yang belum pernah dikunjungi. Saat itu tujuan kami ke Jogja. Dari kota Solo yang hanya dua jam perjalanan membuat kami selalu membanggakan kepada orang lain perjalanan saat itu. Itu perjalanan yang paling keren menurut kami, sebab kami masih abu-abu dan sudah berani keluar kota.
Tahun baru di kota Jogjakarta, kemana lagi selain Malioboro, ngangkring di sepanjang stasiun tugu.
“Besok pulangnya, kamu boncengin Galuh ya!”
“Lho kok aku?” tanyaku heran.
Wajah Sinta menjadi keruh, pandangannya seakan menyesal dengan permintaannya itu.
“Kalau nggak mau ya sudah, biar sama aku.” sahut Tomo.
Aku tahu masih ada kekecewaan dari Sinta, dan senyum Tomo semakain lebar. Aku tahu selama ini diam-diam dia menaruh hati kepada Galuh. Aku menghabiskan es teh hingga tak ada air the yang tersisa. Menatapa senyum Galuh yang tengah asyik bercanda dengan Rahmi. Ah, terlalu cepat aku menjawab permintaan Sinta tadi. Padahal jawaban tadi hanya basa-basi.
Aku menjadi rikuh, ada perasaan tidak enak ketika berdekatan denga Galuh. Kami hanya bersepuluh, 5 cewek dan 5 cowok menyusuri kota Jogja yang padat, macet, sama dengan kota Solo menjelang pergantian tahun.
“Nanti kita dimana nongkrongnya?”
“Di Tugu saja, Tom, lebih eksotis. Di sana sebenarnya pusat perayaan tahun baru.
Aku berada di belakang rombongan. Yani yang berada diboncengin tetap anteng saja. Tak banyak bicara atau mengeluarkan suara melihat keramaian kota Jogja. Aku juga tak tahu apakah sebanarnya menikmati atau segan kepadaku. Aku juga belum tahu  Yani pernah ke sini atau tidak, sepertinya ia begitu menikmati jalanan dan gedung yang berada di pinggir jalan.
Hanya di Tugu itu beberapa kali tanganku menyenggol tangan Galuh, beberapa kali juga senyum kami saling tukar-tangkap. Manis juga ternyata Galuh, kemana aku selama ini masih takut dengan rasa ini. Kami tak hanya sesekali bertemu, kegiatan sekolah memaksa kami selalu bersama dalam semua kegiatan. Dimana ada ketua osis, bukankah sekretaris harus ada. Ah senyum Galuh, di kota ini sepertinya aku menemukan Galuh yang sebenarnya, sebagai perempuan. Bukan sebagai teman apalagi sekretaris Osis.
Teng, tepat jam 00.00, sungguh peristiwa yang tak akan  mudah dilupakan. Galuh memelukku. Gelegar petasan, dentum kembang api disela kilat cahaya menjadikan Galuh meluapkan kegembiraan. Dan kegembiraan itu ditumpahkan kepadaku. Seorang Seno, yang tadi sore disangka teman-temannya tak mau memboncengkan cewek manis itu besok ketika pulang. Ia memelukku beberapa kali. Aku melihat Tomo seperti cemburu, tetapi aku pura-pura tak tahu.
Mengenang kota ini, seolah membuka ingatan tentang perjalanan cinta. Oh, apakah cinta dekat dengan jodoh, apalagi perjodohan. Ingta perjodohan, kembali aku mengingat Ibu, dan kembali kepadaku perjalananku ke sini sebab menengguk ibu.
Walau aku tahu sesungguhnya ibu sangat menyayangiku. Lain soal mengenai  jodoh ini, sepertinya tak kuanggap bukti sayangnya kepadaku. Ibu seolah menyiksa, dan hanya selalu kulihat senyum hambarnya selalu melekat saat melepas keberangkatanku di stasiun Solo Balapan. Dan selalu begitu, ibu tak pernah benar-benar melepaskanku. Sebelum kereta bertolak, dan semboyan tiga lima menyeruak langkahnya menjauh, dan kerudungnya menutupi wajahnya. Aku melihatnya menangis, merasakan kesedihan itu, tetapi aku seolah tak tahu. Aku telah menjadi anak durhaka, kini kutahu rasa itu.
Cuaca pagi yang sudah panas, dan aku harus segera sampai di rumah sakit. Becak menjadi pilihanku, perkiraanku lima belas menit ke Rumah Sakit Bethesda.  Becak menyusur perlahan dan pasti. Jalanan padat dan lampu merah siap menghadang di depan seolah tak menghiraukan laju becak. Kendaraan ini bebas lampu merah. Berhenti di lampu merah berarti tukang becak mengawali lagi tenaga kayuhnya. Sepanjang jalan tak pernah putus komunikasi. Kabar terakhir kondisi ibu belum sadarkan diri. Pesan lewat hape selalu tak berjeda, walau selalu sama. Mbak Ira tak berhenti mengabarkan kondisi Ibu.  Dan itu yang membuat hatiku berdegup tak menentu  jika belum benar-benar melihat ibu.
*
Gula ibu normal, jantung dan semua yang biasanya menjadi gangguan kesehatan beliu tak ada yang mengalami keganjilan. Ibu hanya capek, kelelahan, dan kata dokter terlalu banyak yang dipikirkan.
“Tanpa persetujuanmu, ibu telah menjodohkanmu.”
“Soal itu lagi, Ibu tak pernah menyerah.”
 “Seminggu lagi kalian akan bertunangan.”
Aku kaget, namun berangsur bisa menguasai keadaan. Aku mendesah pelan melihat wajah mbak Ira yang penuh kekhawatiran.
“Apakah aku sangat merepotkan Ibu, Mbak?”
Mbak Ira hanya memandangku lekat dan tidak menjawab.
“Terima saja, mungkin ini memang jalanmu!”
Aku seakan tak mendengar yang diucapkan kakakku, tak ada yang istimewa, seolah sudah biasa.
“Perempuan itu sangat cantik, dan ibu yakin kamu pasti mau.”
Aku hanya menghela nafas, memandang sosok ibu yang berbaring.
Bagaimana agar membuat ibu tidak memikirkan jodoh untuk aku, bagaimana bisa beliu tanpa sedikitpun memikirkan sesuatu kecuali masa tuanya untuk beristirahat dan menyenangkan diri.
“Kata beliu, tak ada kebahagian kecuali melihatmu duduk di pelaminan.” tambah mbak Ira.
Aku melepas penat, menerbangkannya keluar, agar bebanku berkurang dan dadaku semakin longgar. Aku menerawang tiga belas tahun lalu, sepulang pengumuman kelulusan kami sudah janjian di gerbang sekolah. Wanita itu begitu cantik, datang dengan riang dan senyum ngembang. Kami lulus, dan hendaknya mengatakan hubungan selama ini kepada orang tua, kami sudah merasa dewasa, mampu bertanggung jawab.
Kami belum boleh menikah. Ternyata kami harus kuliah, dan yang lebih parah tak boleh berhubungan lagi. Kami saling suka, tak mungkin begitu saja mengubur rasa itu.  Kedua orang tua kami sama-sama kolot, tetapi tetap saja kami saling bertemu, dan selalu merangkai angan untuk bersama. Hingga kami memakai toga masih dengan cinta yang sama dan masih dengan penolakan yang sama. Kami tak boleh menikah, selamanya.
Dalam kondisi ibu seperti ini, masih saja aku mendengar suara ibu yang telah lampau. Bagaimanapun itu tak pernah bisa hilang.
“Kamu anak ketiga, sedangkan Galuh anak pertama. Kalian tidak cocok, selamanya tak akan pernah jadi manten. Bila menikah kalian tak akan akur, banyak bencana!”
“Bu, kami….”
“Saling mencinta, ah itu tak menjamin. Banyak contoh bahwa keluarga seperti itu tak akan lama, tak cocok. Kamu nanti akan menyesal!”
“Tidak, Bu, kami tak akan menyesal.”
“Pokoknya tidak boleh! Titik!”
Suara ibu tiga tahun lalu, seusai aku mengenakan toga kembali terdengar. Kalau saja ibu bersedia melamar Galuh, tentu hari ini ibu sudah menimang cucu. Bila aku bukan anak ketiga dan Galuh anak pertama, tentu akan lain. Hanya saja siapa yang tahu takdir, mungkin memang kami tak berjodoh, dan ibu menang, sedangkan aku kalah dan belum bisa menerima kehadiran perempuan lain.
**
Benar, aku harus istirahat setelah semalaman dan seharian tadi menjaga ibu di rumah sakit. Malam tahun baru aku menuju angkringan stasiun Tugu. Memesan kopi josh dan menikmati sego kucing yang sering membuat kangen. Masih seperti masa yang lalu. Masih tetap ramai, dan anak muda banyak berkumpul hendak menghabiskan malam pergantian tahun. Sebenarnya tak hanya anak muda, banyak keluarga juga bersama anggota keluarganya menikmati keramaian yang sepertinya akan lain di hari biasa.
Seusai menikmati kopi, tentu tujuan selanjutnya Tugu. Ah kenapa aku kembali mengingat tempat ini. Mengingat tempat ini seolah membuka kembali aku kepada tahun yang lewat. Kenangan indah yang yang tak mungkin dihapus dalam memori perjalanan hidup.
Jalanku pelan dikagetkan dengan panggilan seseorang. Apakah benar aku dipanggil. Siapa di kota ini yang mengenalku. Ah, suara itu memang benar memanggilku. Walauapun banyak orang bernama Seno, tetapi langkahnya yang berjalan menuju ke tempatku pasti yang dituju adalah aku.
“Sendirian?”
Suara itu tak berubah. Galuh dengan jeans hitam dan sweater putih tersenyum manis. Rambutnya yang panjang tertiup angin masih seperti waktu remaja dulu.
“Aku sekarang di Jogja.”
“Lho ngapain?”
“Aku ngajar di sini.”
“Dosen?”
Galuh mengangguk. Sepertinya baru setahun ini aku putus komunikasi dengannya. Kabar ini sungguh membuatku terkejut. Galuh kini menjadi dosen, dan aku tetap menjadi karyawan lapangan yang siap berpanas-panas.
Kami berjalan pelan, seolah menghitung paving blok di sekitar Tugu. Kami bersendau gurau, seolah membuka masa lalu. Kenakalan kami di sekolah abu-abu dan keusilan di dalam kelas.
“Maaf, aku belum bisa menengok ibu.”
“Kok kamu tahu ibu sakit.”
‘Lho…”
Galuh tak melanjutkan kalimatnya, wajahnya seolah kaget.
“Ada apa?”
“Jadi kamu belum tahu?”
“Tahu apa?
Tanyaku semakin bingung dan menatap tajam ke matanya.
Kemudian detik itu menjadi sesuatu yang lain. Suara terompet, ledakan petasan, klakson seolah menjadi jawaban atas pertanyaanku.
Galuh memelukku, kali ini pelukannya terasa lain. Sungguh kini ia menjadi wanita dewasa, sehingga ketika memelukku bukan keisengan semata.
“Kamu ingat kita pernah berpelukan disini.”
Galuh mengangguk,, “Dan kau senang ketika aku peluk dulu ya?”
Aku tak menjawab, masih memperhatikan bibirnya.
“Kini aku calon istrimu, itu yang beda!”    
**
Jam berdetak, dan terdengar sekali - walau lirih. Jam lima, mataku sulit terpejam. Mungkin saja aku harus tetap terjaga mengawasi tetes cairan infus yang disuntikkan di lengan Ibu. Wajahnya yang pasi, mata terpejam membuat hatiku dalam detak tak beraturan. Semua kelindan seperti berputar dalam kepala. Semua peristiwa berkitaran. Rasa khawatir, takut kehilangan dan rasa bangga bisa melihat Ibu.
Ternyata kedatagan ibu ke Jogja bukan semata-semat menengok mbak Ira. Ibu telah menemui keluarga Galuh dan melamarnya untukku. Ada rasa senang dalam hatiku. Penantian panjang itu akhirnya tiba, tetapi melihat kondisi ibu seperti ini jelas membuat khawatir.
Aku berusaha membuang gundah, dan kembali memunguti rasa bersalah yang tertebah. Melihat wajah ibu rasa bersalah itu kian bertambah. Sungguh kalau bisa aku ingin mengulang waktu, dua hari yang lalu. Aku akan mengiyakan permintaannya, pulang dan menemukan senyum bahagia ibu. Ah, waktu memang tak bisa diulang, tak bisa diputar seperti memutar jarum jam yang seenaknya dan sesuka kita.
Radiograph masih stabil. Ibu belum sadar, sudah tiga hari dalam kondisi koma.
"Kamu pulang saja dulu! Istirahat. Galuh juga sebaiknya istirahat. Kalian terlihat capek."
"Nggak, Mbak saja yang istirahat. Sudah dua hari tak tidur, kan." sahut Galuh.
Mbak Ira menguap, pertanda kantuk berat menyerangnya. Lelah menyelimuti wajahnya, tetapi tetap saja bersiteguh menunggu  ibu. Aku melihat mbak Ira kemudian diam, mungkin menekuri doa. Suasana yang tenang. Angin berembus lembut, dari kaca jendela ada bayangan pohon cemara yang setinggi orang dewasa bergerak, melambai. Sisa pergantian tahun masih ada. Suara petasan sesekali terdengar, dan terompet seolah mengantar mereka pulang menuju rumah.
"Tangan Ibu bergerak!"
Kami mendekat ke pembaringan, memperhatikan tangan dan wajah Ibu. Secara bergantian laju grafik dan wajah tak lepas dari mataku.
"Cepat panggil dokter!"
Aku tak beranjak, mataku terpaku di wajahnya.
            "Cepat!" ulangnya..
               Suara itu tak kuhiraukan. Mbak Ira ingin melangkah, tetapi tangan Ibu yang tak diinfus menggapai lengannya.
              "Kalian di sini saja, menemani Ibu. Kita tak perlu dokter!"
“Ibu…”
“Galuh, kamu di sini.”
Galuh tersenyum, sedngkan ibu tersenyum lebih ceria seolah tak menderita sakit.
             "Ibu masih sakit, sebaiknya diperiksa dokter." ucap mbak Ira.
             "Kalian adalah obat. Jika kita berkumpul, penyakit ini hilang."
Kami berpandangan, wajah ibu sumringah, matahari di hari pertama tahun ini akan terlihat dan aku melihat wajah ibu menebarkan pesona.

Omah Ngombe,  31122013
 


Sunday, December 29, 2013

Akhir Tahun



Ini hari Senin terakhir di tahun ini, mungkin juga tahun terakhir dalam kehidupan kita. Siapa bisa menyatakan dengan kepastian yang mutlak ia akan menjumpai senin terakhir tahun depan, 2014. Ah, aku selalu pesimis tentang hidup ini, juga kepesimisan saya sebenarnya bisa mengalahkan para motivator yang menganggap segala sesuatu berasal dari nalar pikir dan logika.
Apakah hidup itu berdasar logika, tentu tidak. Hidup adalah tentang menjalani garis takdir yang sudah ditentukan. Boleh saja kita bermimpi muluk, berusaha keras menggapai mimpi, dengan sekerasnya. Namun ingatlah, selalu ingat. Bahwa hidup ini bukan sebenarnya milik kita. Tidak ada putus asa, kegagalan, atau yang sia-sia. Yang ada hanya penghambaan kepada garis takdir pemilik kehidupan.
Apakah kesuksesan adalah sebanarnya sukses, dan kegagalan adalah sesuatu yang menakutkan. Percayalah sukses dan gagal adalah soal penamaan. Pemilik kehidupan Maha Tahu dengan segalanya, Maha Terbaik memberikan penghargaan kepada kita. Sebaik-sebaik manusia adalah yang selalu bertauhid, menjadikan Sang Pencipta satu-satunya Tuhan bukan yang lain.
Lalu tugas kita apa  di dunia. Menjalani dengan ikhlas kehidupan ini, memandang sesuatu sebagai cobaan untuk menjadikan manusia yang super di hadapan ALLAH, bukan manusia super di hadapan manusia lain yang kadang malah menumbuhkan keirian. Apakah kita benar-benar bersiap meninggalkan sesuatu yang bermanfaat di tahun ini, lalu bersiap meningkatkan keimananan di tahun depan, dan berusaha tetap menjadi manusia bercahaya. Semoga. InsyaALLAH.

Saturday, December 14, 2013

Photo yang mBikin nDongkol



Heran dan memang geli saja melihat iklan seseorang yang mencalonkan diri menjadi presiden, atau setidaknya caleg. Bukan sebab kalimat mereka yang nyeleneh bin ajaib lalu membuat saya serasa ngeh melihatnya. Hanya ndongkol,  ndongkol saja yang banyak. Kok ini aneh seseorang yang memasang photo di sembarang tempat. Photo itu belakangan hari dicetak dengan MMT, tahu kan media jenis ini, dan dengan mudahnya kita menemukan di mana saja tempatya. Tak terkecuali di wc umum dan tempat sampah. Apa yang dirasakan orang itu wajahnya ada di mana tempat, kayak teroris, trus dilihat banyak orang—yang sebenarnya orang itu tak mau mengenalnya.
Lalu saya membayangkan, berandai-andai jika yang dipajang, ditempel di banyak tempat itu wajah saya yang katrok dan ndesa ini, apakah saya akan memiringkan muka melihat gambar sendiri seolah bercermin. Ah, kenapa saya sedikit melow dengan kondisi ini. Melow itu kan sedih, gusar, dan ngelus dada. Ada saja orang “menjual diri”.
Ataukah mereka merasa paling tampan, cantik, kaya, pinter, atau seolah mereka adalah manusia ciptaan yang diberi segalanya dan menjadi sombong. Gambar itu gambar mati, kata simbah saya dulu. Gambar bisa dibikin oleh semua orang. Pun kalimat bisa dirangkai oleh semua orang, namun perbuatan bisa dinilai tidak oleh sembarang orang. Boleh saja orang memujinya, tetapi mungkin saja ada udang dibalik batu. Seperti rempeyek yang nikmat dikudap untuk waktu yang lama. Bukankah memang seperti ini persoalan selama ini. Orang bersimpati, sebab sealam ini ada yang diharapkan dari seseorang itu.
Ah, menjadi golput kok ngurusin para calon yang katane paham demokrasi itu. Menjadi manusia netral seperti saya lebih banyak sakit hati dengan ucapan caleg, calon presiden, tokoh parpol, atau orang yang merendahkan golongan lain. Menjadi manusia netral seperti saya memang hanya berani ngomong kasar di blog seperti ini.


sumber gambar: http://www.tempo.co/read/news/2013/12/12/058536674/Pelajar-Caleg-Bengkulu-Tidak-Berkualitas
Omah gedheg, 12122013

Palemboko, tempat nyaman penuh pesona

Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan  dan me...