Liburan akhir tahun yang sepertinya
akan lain, yang sedianya janjian dengan teman-teman kantor telah
berubah seketika. Aku harus pulang, kepulangan yang sebenarnya sudah diperhitungkan
beberapa bulan sebelumnya, tetapi apakah bisa menolak ajakan teman-teman tanpa
alasan penolakan yang jelas. Dan benar, memang firasat anak kepada ibunya tak
pernah luput. Aku kini benar-benar menuju ibu. Ibu dibawa ke rumah sakit ketika
mengunjungi mbk Ira yang tinggal di Jogja.
Lima menit begitu lambat waktu
merambat. Bila terlambat toh paling tak sampai puluhan menit. Ini sudah Stasiun
Tugu sebentar lagi Lempuyangan, dan kereta akan berhenti. Beginilah kalau
sedang hati yang tak menentu. Ini soal rasa khawatir, tapi entah mengapa rasa
yang bertumbuh tak juga lekas rubuh. Ini tentang rasa berdosa yang seolah
monster paling menakutkan. Berita bahwa ibu dibawa ke Rumah Sakit menjadi anak
panah yang dilepaskan dari busur paling dekat,
melesat dan tepat mengenai kepala. Bagaimana tidak, setelah aku menerima
telepon dari beliu, sejam kemudian mbak Ira menelepon mengabarkan ibu dibawa ke
rumah sakit.
Seolah gempa, gempa kecil yang terus
mengguncang kepala.
Mungkin rasa itu memang tak bisa
hilang,. Sementara penumpang sudah mulai bersiap, menjinjing barang,
mencangklek tas, merapikan rambut, dan mulai berjalan ke bordes. Aku juga
mengikuti mereka, berdiri, berjalan diantara para penumpang yang berebutan untuk
berkemas keluar. Masih saja ada sesuatu yang mengganjal. Masih juga terngiang perintah ibu agar aku pulang,
dan masih jelas kuingat alasanku untuk tidak pulang.
“Teman-teman ngajak liburan.”
Ah, bila ingat kalimat itu sepertinya
sebal dan tersenyum sendiri. Apakah ibu bisa disejajarkan dengan teman-temanku.
Bisa disamakan dengan hiburn teman-temanku yang hanya bersenang-senang. Menyesal
sekali aku dengan jawaban itu. Aku menyesal, sungguh menyesal.
Kini aku sudah berdiri di stasiun Lempuyangan.
Tiba-tiba wajah yang berada di stasiun berubah menjadi wajah Ibu. Mereka sepakat
dengan memberiku seulas senyum kecut
atas kepulanganku kali ini. Tatapan
mata seakan membuatku bersalah,
seharusnya aku memang menuruti perintahnya dan juga mengikuti hal yang
diucapkannya. Apakah kini aku sudah boleh disebut anak durhaka?
Ini semua hanya tentang aku, prasangka
dan perjodohan. Aku mengira kangen ibu hanya alibi agar aku mau pulang, bukankah lebaran kemarin
aku seminggu di rumah. Seperti kepulanganku sebelumnya, bahwa setelah sampai di
rumah maka aku akan dikenalkan dengan putri sahabatnya. Kadang teman waktu
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, teman kuliah atau kenalannya saat masih bertugas di kantor pos.
“Sudah tiba umurmu untuk berkeluarga,
dan semua perempuan yang ibu ajukan semuanya kamu tolak.”
“Bukan aku yang menolak, Bu, mereka.”
“Tetap saja. Sama saja, sebab engkau
tak berusaha mendapatkannya.”
“Mungkin tak berjodoh.”
“Tak berjodoh? Engkau tak mencari!”
Dialog hampir sama, yang terus berulang. Hingga lupa
berapa kali terbilang dari mulutku, ah semoga bukan sebuah kedurhakaan.
Sebenarnya aku sudah punya pilihan.
Lebih tepatnya pernah menjalani hubungan dengan seorang perempuan. Sejak kami
sekolah, kuliah, kami sering bersama. Dan ibu juga tahu dan mengenalnya. Hanya
saja ibu tidak setuju, hingga hari ini keputusan itu tak berubah. Selama ini
aku diam tak mengungkit-ungkit itu lagi. Mungkin hal ini yang membuat aku
durhaka. Memendam benci kepada ibuku sendiri.
Selayaknya anak muda, masa sma adalah
periode suka jalan dan main ke tempat yang belum pernah dikunjungi. Saat itu tujuan
kami ke Jogja. Dari kota Solo yang hanya dua jam perjalanan membuat kami selalu
membanggakan kepada orang lain perjalanan saat itu. Itu perjalanan yang paling
keren menurut kami, sebab kami masih abu-abu dan sudah berani keluar kota.
Tahun baru di kota Jogjakarta, kemana
lagi selain Malioboro, ngangkring di sepanjang stasiun tugu.
“Besok pulangnya, kamu boncengin Galuh
ya!”
“Lho kok aku?” tanyaku heran.
Wajah Sinta menjadi keruh, pandangannya
seakan menyesal dengan permintaannya itu.
“Kalau nggak mau ya sudah, biar sama
aku.” sahut Tomo.
Aku tahu masih ada kekecewaan dari
Sinta, dan senyum Tomo semakain lebar. Aku tahu selama ini diam-diam dia
menaruh hati kepada Galuh. Aku menghabiskan es teh hingga tak ada air the yang
tersisa. Menatapa senyum Galuh yang tengah asyik bercanda dengan Rahmi. Ah,
terlalu cepat aku menjawab permintaan Sinta tadi. Padahal jawaban tadi hanya
basa-basi.
Aku menjadi rikuh, ada perasaan tidak
enak ketika berdekatan denga Galuh. Kami hanya bersepuluh, 5 cewek dan 5 cowok
menyusuri kota Jogja yang padat, macet, sama dengan kota Solo menjelang
pergantian tahun.
“Nanti kita dimana nongkrongnya?”
“Di Tugu saja, Tom, lebih eksotis. Di sana
sebenarnya pusat perayaan tahun baru.
Aku berada di belakang rombongan. Yani
yang berada diboncengin tetap anteng saja. Tak banyak bicara atau mengeluarkan
suara melihat keramaian kota Jogja. Aku juga tak tahu apakah sebanarnya
menikmati atau segan kepadaku. Aku juga belum tahu Yani pernah ke sini atau tidak, sepertinya ia
begitu menikmati jalanan dan gedung yang berada di pinggir jalan.
Hanya di Tugu itu beberapa kali
tanganku menyenggol tangan Galuh, beberapa kali juga senyum kami saling
tukar-tangkap. Manis juga ternyata Galuh, kemana aku selama ini masih takut
dengan rasa ini. Kami tak hanya sesekali bertemu, kegiatan sekolah memaksa kami
selalu bersama dalam semua kegiatan. Dimana ada ketua osis, bukankah sekretaris
harus ada. Ah senyum Galuh, di kota ini sepertinya aku menemukan Galuh yang
sebenarnya, sebagai perempuan. Bukan sebagai teman apalagi sekretaris Osis.
Teng, tepat jam 00.00, sungguh
peristiwa yang tak akan mudah dilupakan.
Galuh memelukku. Gelegar petasan, dentum kembang api disela kilat cahaya
menjadikan Galuh meluapkan kegembiraan. Dan kegembiraan itu ditumpahkan
kepadaku. Seorang Seno, yang tadi sore disangka teman-temannya tak mau
memboncengkan cewek manis itu besok ketika pulang. Ia memelukku beberapa kali. Aku
melihat Tomo seperti cemburu, tetapi aku pura-pura tak tahu.
Mengenang kota ini, seolah membuka
ingatan tentang perjalanan cinta. Oh, apakah cinta dekat dengan jodoh, apalagi
perjodohan. Ingta perjodohan, kembali aku mengingat Ibu, dan kembali kepadaku
perjalananku ke sini sebab menengguk ibu.
Walau aku tahu sesungguhnya ibu sangat
menyayangiku. Lain soal mengenai jodoh
ini, sepertinya tak kuanggap bukti sayangnya kepadaku. Ibu seolah menyiksa, dan
hanya selalu kulihat senyum hambarnya selalu melekat saat melepas
keberangkatanku di stasiun Solo Balapan. Dan selalu begitu, ibu tak pernah
benar-benar melepaskanku. Sebelum kereta bertolak, dan semboyan tiga lima
menyeruak langkahnya menjauh, dan kerudungnya menutupi wajahnya. Aku melihatnya
menangis, merasakan kesedihan itu, tetapi aku seolah tak tahu. Aku telah
menjadi anak durhaka, kini kutahu rasa itu.
Cuaca pagi yang sudah panas, dan aku
harus segera sampai di rumah sakit. Becak menjadi pilihanku, perkiraanku lima
belas menit ke Rumah Sakit Bethesda.
Becak menyusur perlahan dan pasti. Jalanan padat dan lampu merah siap
menghadang di depan seolah tak menghiraukan laju becak. Kendaraan ini bebas
lampu merah. Berhenti di lampu merah berarti tukang becak mengawali lagi tenaga
kayuhnya. Sepanjang jalan tak pernah putus komunikasi. Kabar terakhir kondisi
ibu belum sadarkan diri. Pesan lewat hape selalu tak berjeda, walau selalu
sama. Mbak Ira tak berhenti mengabarkan kondisi Ibu. Dan itu yang membuat hatiku berdegup tak
menentu jika belum benar-benar melihat
ibu.
*
Gula ibu normal, jantung dan semua yang
biasanya menjadi gangguan kesehatan beliu tak ada yang mengalami keganjilan.
Ibu hanya capek, kelelahan, dan kata dokter terlalu banyak yang dipikirkan.
“Tanpa persetujuanmu, ibu telah menjodohkanmu.”
“Soal itu lagi, Ibu tak pernah
menyerah.”
“Seminggu
lagi kalian akan bertunangan.”
Aku kaget, namun berangsur bisa
menguasai keadaan. Aku mendesah pelan melihat wajah mbak Ira yang penuh
kekhawatiran.
“Apakah aku sangat merepotkan Ibu,
Mbak?”
Mbak Ira hanya memandangku lekat dan
tidak menjawab.
“Terima saja, mungkin ini memang
jalanmu!”
Aku seakan tak mendengar yang diucapkan
kakakku, tak ada yang istimewa, seolah sudah biasa.
“Perempuan itu sangat cantik, dan ibu
yakin kamu pasti mau.”
Aku hanya menghela nafas, memandang
sosok ibu yang berbaring.
Bagaimana agar membuat ibu tidak
memikirkan jodoh untuk aku, bagaimana bisa beliu tanpa sedikitpun memikirkan
sesuatu kecuali masa tuanya untuk beristirahat dan menyenangkan diri.
“Kata beliu, tak ada kebahagian kecuali
melihatmu duduk di pelaminan.” tambah mbak Ira.
Aku melepas penat, menerbangkannya
keluar, agar bebanku berkurang dan dadaku semakin longgar. Aku menerawang tiga
belas tahun lalu, sepulang pengumuman kelulusan kami sudah janjian di gerbang
sekolah. Wanita itu begitu cantik, datang dengan riang dan senyum ngembang.
Kami lulus, dan hendaknya mengatakan hubungan selama ini kepada orang tua, kami
sudah merasa dewasa, mampu bertanggung jawab.
Kami belum boleh menikah. Ternyata kami
harus kuliah, dan yang lebih parah tak boleh berhubungan lagi. Kami saling
suka, tak mungkin begitu saja mengubur rasa itu. Kedua orang tua kami sama-sama kolot, tetapi
tetap saja kami saling bertemu, dan selalu merangkai angan untuk bersama.
Hingga kami memakai toga masih dengan cinta yang sama dan masih dengan
penolakan yang sama. Kami tak boleh menikah, selamanya.
Dalam kondisi ibu seperti ini, masih
saja aku mendengar suara ibu yang telah lampau. Bagaimanapun itu tak pernah
bisa hilang.
“Kamu anak ketiga, sedangkan Galuh anak
pertama. Kalian tidak cocok, selamanya tak akan pernah jadi manten. Bila
menikah kalian tak akan akur, banyak bencana!”
“Bu, kami….”
“Saling mencinta, ah itu tak menjamin.
Banyak contoh bahwa keluarga seperti itu tak akan lama, tak cocok. Kamu nanti
akan menyesal!”
“Tidak, Bu, kami tak akan menyesal.”
“Pokoknya tidak boleh! Titik!”
Suara ibu tiga tahun lalu, seusai aku
mengenakan toga kembali terdengar. Kalau saja ibu bersedia melamar Galuh, tentu
hari ini ibu sudah menimang cucu. Bila aku bukan anak ketiga dan Galuh anak
pertama, tentu akan lain. Hanya saja siapa yang tahu takdir, mungkin memang
kami tak berjodoh, dan ibu menang, sedangkan aku kalah dan belum bisa menerima
kehadiran perempuan lain.
**
Benar, aku harus istirahat setelah
semalaman dan seharian tadi menjaga ibu di rumah sakit. Malam tahun baru aku
menuju angkringan stasiun Tugu. Memesan kopi josh dan menikmati sego kucing
yang sering membuat kangen. Masih seperti masa yang lalu. Masih tetap ramai,
dan anak muda banyak berkumpul hendak menghabiskan malam pergantian tahun. Sebenarnya
tak hanya anak muda, banyak keluarga juga bersama anggota keluarganya menikmati
keramaian yang sepertinya akan lain di hari biasa.
Seusai menikmati kopi, tentu tujuan
selanjutnya Tugu. Ah kenapa aku kembali mengingat tempat ini. Mengingat tempat
ini seolah membuka kembali aku kepada tahun yang lewat. Kenangan indah yang yang
tak mungkin dihapus dalam memori perjalanan hidup.
Jalanku pelan dikagetkan dengan
panggilan seseorang. Apakah benar aku dipanggil. Siapa di kota ini yang mengenalku.
Ah, suara itu memang benar memanggilku. Walauapun banyak orang bernama Seno,
tetapi langkahnya yang berjalan menuju ke tempatku pasti yang dituju adalah
aku.
“Sendirian?”
Suara itu tak berubah. Galuh dengan jeans
hitam dan sweater putih tersenyum manis. Rambutnya yang panjang tertiup angin masih
seperti waktu remaja dulu.
“Aku sekarang di Jogja.”
“Lho ngapain?”
“Aku ngajar di sini.”
“Dosen?”
Galuh mengangguk. Sepertinya baru
setahun ini aku putus komunikasi dengannya. Kabar ini sungguh membuatku
terkejut. Galuh kini menjadi dosen, dan aku tetap menjadi karyawan lapangan
yang siap berpanas-panas.
Kami berjalan pelan, seolah menghitung
paving blok di sekitar Tugu. Kami bersendau gurau, seolah membuka masa lalu. Kenakalan
kami di sekolah abu-abu dan keusilan di dalam kelas.
“Maaf, aku belum bisa menengok ibu.”
“Kok kamu tahu ibu sakit.”
‘Lho…”
Galuh tak melanjutkan kalimatnya,
wajahnya seolah kaget.
“Ada apa?”
“Jadi kamu belum tahu?”
“Tahu apa?
Tanyaku semakin bingung dan menatap
tajam ke matanya.
Kemudian detik itu menjadi sesuatu yang
lain. Suara terompet, ledakan petasan, klakson seolah menjadi jawaban atas
pertanyaanku.
Galuh memelukku, kali ini pelukannya
terasa lain. Sungguh kini ia menjadi wanita dewasa, sehingga ketika memelukku
bukan keisengan semata.
“Kamu ingat kita pernah berpelukan
disini.”
Galuh mengangguk,, “Dan kau senang
ketika aku peluk dulu ya?”
Aku tak menjawab, masih memperhatikan
bibirnya.
“Kini aku calon istrimu, itu yang beda!”
**
Jam berdetak, dan terdengar sekali -
walau lirih. Jam lima, mataku sulit terpejam. Mungkin saja aku harus tetap
terjaga mengawasi tetes cairan infus yang disuntikkan di lengan Ibu. Wajahnya
yang pasi, mata terpejam membuat hatiku dalam detak tak beraturan. Semua
kelindan seperti berputar dalam kepala. Semua peristiwa berkitaran. Rasa
khawatir, takut kehilangan dan rasa bangga bisa melihat Ibu.
Ternyata kedatagan ibu ke Jogja bukan
semata-semat menengok mbak Ira. Ibu telah menemui keluarga Galuh dan melamarnya
untukku. Ada rasa senang dalam hatiku. Penantian panjang itu akhirnya tiba,
tetapi melihat kondisi ibu seperti ini jelas membuat khawatir.
Aku berusaha membuang gundah, dan
kembali memunguti rasa bersalah yang tertebah. Melihat wajah ibu rasa bersalah
itu kian bertambah. Sungguh kalau bisa aku ingin mengulang waktu, dua hari yang
lalu. Aku akan mengiyakan permintaannya, pulang dan menemukan senyum bahagia
ibu. Ah, waktu memang tak bisa diulang, tak bisa diputar seperti memutar jarum
jam yang seenaknya dan sesuka kita.
Radiograph masih stabil. Ibu belum
sadar, sudah tiga hari dalam kondisi koma.
"Kamu pulang saja dulu! Istirahat.
Galuh juga sebaiknya istirahat. Kalian terlihat capek."
"Nggak, Mbak saja yang istirahat.
Sudah dua hari tak tidur, kan." sahut Galuh.
Mbak Ira menguap, pertanda kantuk berat
menyerangnya. Lelah menyelimuti wajahnya, tetapi tetap saja bersiteguh menunggu
ibu. Aku melihat mbak Ira kemudian diam,
mungkin menekuri doa. Suasana yang tenang. Angin berembus lembut, dari kaca
jendela ada bayangan pohon cemara yang setinggi orang dewasa bergerak,
melambai. Sisa pergantian tahun masih ada. Suara petasan sesekali terdengar,
dan terompet seolah mengantar mereka pulang menuju rumah.
"Tangan Ibu bergerak!"
Kami mendekat ke pembaringan,
memperhatikan tangan dan wajah Ibu. Secara bergantian laju grafik dan wajah tak
lepas dari mataku.
"Cepat panggil dokter!"
Aku tak beranjak, mataku terpaku di
wajahnya.
"Cepat!"
ulangnya..
Suara itu tak kuhiraukan. Mbak Ira ingin melangkah, tetapi tangan Ibu yang tak
diinfus menggapai lengannya.
"Kalian di sini saja, menemani Ibu. Kita tak perlu dokter!"
“Ibu…”
“Galuh, kamu di sini.”
Galuh tersenyum, sedngkan ibu tersenyum
lebih ceria seolah tak menderita sakit.
"Ibu masih sakit, sebaiknya diperiksa dokter." ucap mbak Ira.
"Kalian adalah obat. Jika kita berkumpul, penyakit ini hilang."
Kami berpandangan, wajah ibu sumringah,
matahari di hari pertama tahun ini akan terlihat dan aku melihat wajah ibu
menebarkan pesona.
Omah Ngombe, 31122013