Wednesday, September 30, 2020

Surau di atas Bukit

Apa engkau tahu kenapa orang tua itu selalu berada di shaff pertama? Sebelum azan terdengar, akan ada langkah datang, ketukan tiga kali-dua kakinya dan satu tongkat kayu yang licin sebab gesekan tangannya.  Apa engkau juga tahu kenapa ia bisa buta? Tak banyak yang tahu keberadaan dan muasal orang tua itu, sebab ia jarang berdiam di satu masjid. Apa engkau juga tahu berapa masjid yang sudah ia kunjungi? Ah, saya yakin kehadiran orang tua itu mungkin saja hanya menganggu pandanganmu, atau malah menganggu niatmu.



Bila sempat atau sekedar lewat di kota itu pasti akan berjumpa dengan angin yang sejuk. Tanah yang berkelok tak rata. Tanaman hijau menyebar- melayangkan mata pada surga, pada keindahan yang kentara. Gunung Lawu memang elok dalam lukisan sang pencipta, gagah memaku tanah agar tak goyah. Hanya sayang, sungguh memang sayang. Dulu di bukit sebelah timur ada satu bangunan yang terlihat manis. Bangunan mungil yang bila malam cahaya pethromaknya memerangi luas gelap malam di sekitarnya. Sebuah Surau yang senantiasa terdengar alunan orang mengaji, padahal bila siang surau hanya ada mbah Jogo. Tak banyak yang tahu kenapa suara mengaji itu sering terdengar, walau siang hari. Dan kini  surau  itu seolah tanggal dari lukisan, hilang melayang oleh kenangan.

Dan hanya sedikit kisah yang bisa aku dengar tentang orang tua itu. Kisah yang hanya menjadi dongeng sebelum tidur. Sebab kami hanya mendengarnya, sekali lagi hanya mendengar. Kisah yang masuk lewat telinga kanan dan keluar dari kiri, tak benar-benar kami merenungkan yang terjadi. Tentu dongeng tentang orang tua itu. Tentu dongeng tentang surau di atas bukit, dan kejadian yang membuatnya buta.

**

Seperti ada yang lain, sesuatu yang kurang. Suara alunan ayat-ayat suci itu beberapa hari ini tidak terdengar lagi. Pasti dan selalu ditunggunya adalah ketika Ayah pulang dan kemudian terdengar alunan nada yang sangat mendayu, menyentuh  telinganya, bergetar dan perlahan mengalir dan menimbulkan ledakan yang cukup dahsyat di hatinya lalu menaburi segenap jiwanya. Rasa damai, ketenangan dan bergumpal cahaya. Cahaya itu akan ditatapnya, persis seperti dulu.

Duduknya semakin gelisah, badannya yang kecil terlihat semakin mungil, kedua lutut tercium wajah dan ada sedikit kekawatiran.

“Ayah belum pulang, Mak?”

Emak tak menjawab, tangannya masih sibuk dengan ubi, menguliti, memilah, dan mengumpulkan kulitnya pada keranjang. Mimik wajahnya memperhatikan anaknya, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan. Ia tak tahu kenapa suaminya belum pulang.

“Masih lama ya, Mak, Ayah pulang?”

“Masih lama, tidur saja!”

“Belum ngantuk, Mak.”

Sebentar kemudian emak hanya melihat sekilas anak semata wayangnya dengan kasihan. Ia tahu bukan sebab ia belum mengantuk. Emak tahu anaknya itu ingin mendengar suara ayahnya mengaji.

Araaf terus saja gelisah, dengan tertatih mendekat ke meja, tangannya ingin meraih gelas yang berada di meja, tangannya tak sengaja menyenggol gelas yang berisi air dan tumpah. Araaf kaget, air membasahi bajunya. Emak hanya melihat dengan rasa kasihan. Emak selalu teringat pesan Kahar, suaminya bila Araaf jangan sampai terkena kata-kata yang kasar.

“Mak, bajunya basah lagi.”

“Nggak apa, ganti yang kering. Pakai kaos saja!. Ayah akan pulang larut malam.”  

Arraf hanya mengangguk dan lepas menuju lemari pakaian. Semula ia hendak memakai kaos, tetapi diurungkan saat dari luar ayahnya uluk salam. Bola matanya kembali terang.

Araaf akan kembali mendengar bagaimana cerita ayahnya tentang Mbah Jogo, suaranya yang merdu, nasihat sederhana namun meresap di hati. Pendengar seolah akan tergerak mengikuti, walau sebenarnya nasihat yang diberikan sering terdengar. Entah mengapa nasihat yang diberikan Mbah Jogo seolah membentur palung paling dalam dari hati. Konon nasihat Mbah Jogo mudah dilaksanakan sebab sudah diamalkan sendiri, tak sekedar teori yang didapat. Amalan itu telah mengakar dalam hidupnya sehari-hari. Orang yang melihatnya seolah mengikuti yang dikerjakan beliu. 

Begitu juga Araaf yang dengan mudah menunaikan nasihat. Makan  dan minum dengan tangan kanan,  membaca doa, mendoakan orang tuanya, membantu emak mengantar gethuk ke warung-warung. Dan sering ia dengan dari kedua orang tuanya,  Kahar dan istrinya senantiasa bersabar, menjalani hidup dengan banyak bersyukur walau kekurangan. Nasihat yang mudah diterima, dan mudah dijalankan. 

Kahar baru saja membaca taawudz, kemudian dari pintu sudah terdengar salam dan ketukann yang seperti terburu-buru. Wajah Araaf bingung, 

“Siapa, pak?”

“Kita lanjutkan besok saja, baca doa lalu tidur!”

Arraf mencium tangan ayahnya, walau sang ayah pandangannya menuju ke pintu dengan rasa khawatir. Sang emak mengajak anak kecil itu ke kamar, menutup gorden dan meninabobokan.

“Ada yang membakar surau, Kang. Api sudah membakar sebagian, jamaah yang lain masih berusaha menyiram.”

Kahar ragu, apakah akan pamit atau langsung ke surau. Ia ingat pesan Mbah Jogo: Sebaiknya berpamit kepada istri jika ingin bepergian, agar kepergian disertai keikhlasan dan doa. Kahar memutuskan masuk ke kamar menyusul istrinya. Tak berselang lama Kahar keluar dengan tergesa. Keduanya menuju ke Surau.

Sebentar kemudian anak kecil itu berjalan mengendap-endap. Langkahnya pelan agar tak membangunkan emaknya, membuka pintu dan mendapati gelap yang pekat. Ia berlari menuju surau, jalanan setapak turun-naik itu seolah jalanan lebar dan halus. Kaki mungilnya hapal dengan jalanan itu. Setiap hari jalanan itu memberi pesan dan nasihat agar selalu berhati-hati. Setelah mendengar surau milik Mbah Jogo terbakar, pesan itu seolah lenyap. Ia harus berlari dan membantu mencari air untuk menyiram.

Api itu seperti monster menakutkan, memeluk surau dengan kekar. Kaki mungil Arraf bergetar melihat api berkobar dan orang-orang berlarian menyiram. Tiba-tiba terdengar suara ledakan, beberapa kayu terlempar dan mengenai kepala Arraf. Tak ada yang tahu kejadian itu, mereka sibuk dengan air dan Mbah Jogo yang tak kelihatan.

Pagi hari, setelah bangunan surau rata dengan tanah anak kecil itu tersenyum di bawah kayu yang menindihnya. Pandangannya gelap, ia tak melihat siapa-siapa.

“Araaf kenapa kamu di sini.”

Arraf hanya diam, ia tak bisa melihat siapa yang bertanya. Kahar membopong anaknya pulang. Beberapa warga sibuk membersihkan sisa kebakaran.  


**

Sekarang engkau tahu siapa lelaki itu bukan. Kami hanya suka mendengar dongeng ini, dan mungkin kelak anak-anak kami juga akan kami dongengkan hal yang sama. Pernah beberapa tetangga kami yang kebetulan bertemu dengannya hendak memberi uang sebagai penghormatan yang lebih tua,  ia akan menolak. Rasa kasihan menurutnya lebih banyak melupakan dirinya, selama masih ada ia akan menghilangkan rasa iba orang kepada dirinya. Meskipun buta, lelaki itu masih berdagang. Setiap orang yang ditemui tak semuanya ditawari barang dagangannya. Dan bila engkau ditawari batu, terima saja. Sebab batu itu bukan sembarang batu. Itu batu dari olahan tangannya. Batu yang direnteng sejumlah tiga puluh tiga. Dan jangan banyak bertanya bagaimana batu-batu itu bisa direntengnya. Hasil penjualannya akn disisihkan untuk membeli bahan bangunan. Memang, ia telah mengumpulkan beberapa bahan bangunan di rumahnya. Ia bermimpi memiliki surau, walau banyak masjid megah di pegunungan Lawu. Masjid yang katanya sepi itu akan membuatnya tersiksa. Ia ingin membangun surau agar nyaman hidupnya. Dan jangan bertanya tentang tasbih batu itu, sebab jawabnya pasti sama,

“ Agar hatimu tak lekas membatu.”


Omah Gedheg 2012


Sunday, September 27, 2020

Martabak dan Saya

Mula pertama di Jakarta (dulu) adalah tentang keheranan saya dengan penamaan martabak, iya Martabak. Makanan dari bahan dasar terigu itu membuat nggumun. Gerobak penjual martabak begitu banyak, seperti berjejer. Baiklah, dalam ingatan saya martabak telur lebih mengena. Kalaupun ada martabak Manis, saya lebih terasa melihat kue terang bulan-- begitu ingatan saya dari kampung. Walau variasi rasa mata lebih kaya warna. Martabak Manis, ya mungkin kue terang belang versi kota.
LE

Martabak, konon berasal dari arab. Dalsm bahasa indonesia berarti terlipat. Bisa dibayangkan hubungan ini. Kue ini, katanya lagi sajian yang ditemukan di Arab Saudi. Mungkin juga keterbatasan saya, ketika pernah di Arab Saudi, oleh teman saya dibelikan roti buaya ( versi betawi) roti ini dimakan dengan kuah bumbu kari. Mungkin juga teman saya yang kuliah di darul Qur' an lebih mengenal roti itu, daripada jenis martabak.

Kembali soal martabak. Beragam gerobak martabak menawarkan rasa beragam, juga rasa lokalitas. Sebut saja martabak bangka, Dan bandung. Kota Bangka dan Bandung seakan ingin menjadi semacam sejarah muasal martabak. Kue ini memang Manis dari keuntungan dan juga rasa. Boleh saja memberi stempel martabak menurut lokalitas berasal, tetapi beberapa kali membeli kue ini membuat kaget.

Martabak juga tersebar di  Malaysia dan Singapura, mungkin saja kemelayuan dan kearaban kadang berpadu rasa di lidah. Ada yang menamai kue apam balik, kembali saya ingat Ibu saya kalo mau lebaran syawal membuat apem, yang digarang atau didhang  tetapi sepertinya bukan dari terigu, namun dari tepung beras.

Pada suatu kesempatan, penjual warung nasi asal brebes, tetapi juga menamai warungnya warteg membuka usaha gerobak martabak.
: anak kecil di desa saya pasti bisa buat martabak, mas....

Ini membuat arah ekspetasi tentang martabak berubah. Berubah segalanya, dari anak anak bisa membuat martabak adalah seperti menjadi kekayaan lokalitas. Pun begitu, membuat arahnya kekayaan pengetahuan.



Di Kodau, Bekasi, Rempoa, dan Juga Sentul hampir penjual martabak berasal dari Brebes. Ini luar biasa.Brebes memang top, juga telur asinnya.

Boleh saja penjual martabak dari mana saja, selain tidak mengklaim ngawur. Bilang martabak bangka, tapi asalnya dari Brebes, atau Martabak bandung, namun asalnya dari Tegal. Pun juga pedagang martabak boleh ingin menjadi apa saja. Lurah, camat, bupati, gubernur atau presiden, tetapi biasanya nggk setinggi itu. Kecuali pengusaha martabak, yang pingin jadi apa saja.

Rempoa, 28 sept 2020

Saturday, September 26, 2020

Bertanam Kangkung di Hati


 Setidaknya waktu Sekolah Menengah saya pernah beternak kelinci, tahun 2000 an awal. Kelinci itu didapat dari membeli, ketika melihat bentuk dan warna yang menarik lalu  membawanya pulang ke rumah, membuat kandang dengan bentuk rumah kecil dari kayu. Bukan sebab punya duit lalu pakai bahan kayu, kebetulan selain petani ayah saya adalah tukang kayu. Limbah kayu dimanfaatkan sebagai dinding kandang dan atapnya memakai genteng beneran. Lalu yang membuat hari saya berwarna adalah ngarit. Mencari pakan bagai peliharaan seperti sunnah bagi peternak. Keasyikan dan romantika mencari ini seperti rutinitas yang membuat bosan, dan kadang ngangenin.  

Sebab kelinci suka kangkung, begitu anggapan saya waktu itu. Bisa tiga hari sekali pada mulanya ngarit mencari kangkung. Pekerjaan mencari ini sebab saya tak menanamnya. Tanaman kangkung sebenarnya mudah ditemui. Kangkung yang tumbuh di air dan memiliki bunga putih. Bunganya seperti terompet dengan di tengahnya warna ungu. Bagi saya warna ini begitu cantik, tetapi dengan tega saya memutus keindahannya. Membuat kangkung meregang hidup, pasrah dengan kuasa tangan dan ambisi demi keberlangsungan pertumbuhan kelinci saya. Tentu masih ada halangan jika ngarit di sungai, rawa, atau yang berair. Di lahan tersebut bisa saja ada ular, yang tentu ular yang beraneka macam dengan bisanya- mengancam kaki, tangan, kalau perlu mengancam nyawa. Inilah mungkin yang membuat bosan dan membuat tak nyaman ketika ngarit.

Kelinci itu mudah berkembang, pakan yang mudah didapat, serta ruang kandang yang lega. Hanya sayang, sebab alasnya tanah tanpa plester maka kelinci membuat tempat persembunyian, membuat rongga tanah dan menjalar ke segala arah. Tanah menjadi tak beraturan dan ini yang membuat tidak nyaman. Salah satu jalan kemudian harus membuat kandang dengan panggung. Dan kandang ini bukan tanpa hambatan. Memang segala sesuatu tak ada yang mulus, ...

Baiklah sebenarnya saya hanya ingin menyampaikan tentang kangkung, tanaman ini yang mudah tumbuh dengan kadar air yang harus ada. Sebenarnya, setelah saya mencari tahu dikemudian hari  ada kangkung darat, tetapi saya belum pernah sekali menemukan. Mungkin sudah tidak valid, membayangkan kangkung yang ditanam ditegalan atau bahkan kebun menjadi sulit untuk digambarkan. 

Setelah berjalan tahun, dan kemudian ada kehidupan yang lain. Bertanam kangkung menjadi trend petani modern. Saya menyebut petani ini modern sebab bertani hanya hobi dan menyalurkan naluri. Media yang dipakai juga sederhana, tak berjalan jauh dari dapur dan kasur. Mereka bisa menanamnya di garasi, di atas cucian piring atau diroftoop. Cara tanam Kangkung modern sungguh membuat bahagia, tanpa target, tanpa berpikir gagal. Ketika panen bisa dimasak, dibagi ke tetangga, dan yang pasti bisa buat konten swaphoto. Bertanam kangkung bisa menjadi bahagia, berbagi di laman jejaring sosial dengan senyum

Dengan uang sepuluh ribu sudah mendapat 500 biji bibit. Tentu perlu menyemai, menanamnya, merawatnya, menyirami dan memberi nutrisi. Pelbagai teknik bisa dengan mudah dicari dengan gawai di tangan. Angan itu mudah. Bertanam kangkung sangat mudah. Bertanam mudah itu dengan hati riang, bahan pokok tersedia, tabungan ada, keluarga tak sehat tak ada yang sakit. Maka bertanamlah kangkung, menyemai bibit untuk belajar bahagia.

Adakah kebahagian lahir dari keterpaksaan?

selamat menikmati bahagia dengan Kangkung.

Chandra Baru, 27 sept 2020 

  

Hari Tani, Petani, dan Kota

Kebunku

Ketika tonggak pertanian dicanangkan Soekarno, Keppres No 169/1963, sebagai kenangan Undang Undang Pokok Agraria ,UU No 5/1960 Petani seolah mendapat angin Segar. Keberadaan Petani seolah menjadi mulia terhadap keberlangsungan negara. Hal ini kembali diungkapkan Soekarno ketika peletakan batu Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang sekarang menjadi IPB. pertama 


: Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita dikemudian hari. begitu uraian tentang pangan sebagai hal pokok untuk kemajuan bangsa. 


Sektor pertanian memiliki andil dalam 15,46% pada PDB  Indonesia, di triwulan II -2020 tentu ini bukan teori yang didapat oleh BPS, sektor pertanian menjadi alat pacu ekonomi, walaupun sektor ini semakin hari semakin bergantian stakeholder, kepentingan seolah terpinggirkan.


Teringat dalam catatan, 1984 Soeharto menggebrak dengan swasembada pangan, tahun itu Indonesia diakui dunia. Terlepas Dari strategi ataupun iming iming untuk investor asing setidaknya swasembada pangan terus menjadi buah bibir pertanian dan kemajuan negeri. Dan selanjutnya kebijakan orde baru, reformasi dan pasca reformasi apakah berpihak kepada Petani?


Ayah saya adalah Petani, seusai shalat subuh dengan sepeda kumbang  menuju sawah, dulu tanah di Jetis, Joho, di Sukoharjo adalah tanah untuk sawah. Ada sungai untuk irigasi yang lumayan besar, tentu sebelum industri tekstil Sritex menjadi sebesar Sekarang. Ayah saya hanya Petani kasar, tanpa pekerja, bila semua dikerjakan sendiri. 


Dan mungkin keterbatasan saya kemudian tak mengenal hari Tani atau semacam perayaanya. Petani dalam bingkai mata saya adalah mengolah sawah, membayar iuran DharmaTirta atau membeli Pupuk berapapun harganya. Sebab ketahanan pangan keluarga lebih penting dari pada tethek bengek tentang negara.


Setidaknya Petani terus berupaya melestarikan ketahanan pangan keluarga, jika mereka mencari keuntungan lebih besar dan mulai berdagang itu mungkin hanya ingin beriringan dengan jaman. Maka tak heran dari beberapa group Facebook yang saya ikuti hanyalah berisi keluhan. Seabrek kebijakan, tapi tak beriring dengan kebutuhan Petani. Sebutlah tentang kartu Tani dan pupuk. Mereka ingin beli pupuk, namun pupuk ternyata langka. Mereka bisa beli pupuk, bisa subur, hasil bagus-melimpah tapi harga anjlok, rusak dan mereka hanya membuang atau membiarkan.


Bertani adalah naluri, untuk berekpresi dan bertahan. Di kota sudah marak dengan pertanian jaman ini. Hidroponik mungkin salah satu pilihan untuk memanfaatkan lahan dan juga menyalurkan naluri bertani.

Setidaknya, terima kasih Petani, selamat Hari Tani, semoga tetap istiqomah di jalan ini

Rempoa,  26 Sept 2020



 

Friday, September 25, 2020

Hari Tani, Petani, dan Kota


Ketika tonggak pertanian dicanangkan Soekarno, Keppres No 169/1963, sebagai kenangan Undang Undang Pokok Agraria ,UU No 5/1960 Petani seolah mendapat angin Segar. Keberadaan Petani seolah menjadi mulia terhadap keberlangsungan negara. Hal ini kembali diungkapkan Soekarno ketika peletakan batu Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang sekarang menjadi IPB. pertama 

 

: Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita dikemudian hari. begitu uraian tentang pangan sebagai hal pokok untuk kemajuan bangsa. 

 

Sektor pertanian memiliki andil dalam 15,46% pada PDB  Indonesia, di triwulan II -2020 tentu ini bukan teori yang didapat oleh BPS, sektor pertanian menjadi alat pacu ekonomi, walaupun sektor ini semakin hari semakin bergantian stakeholder, kepentingan seolah terpinggirkan.

 

Teringat dalam catatan, 1984 Soeharto menggebrak dengan swasembada pangan, tahun itu Indonesia diakui dunia. Terlepas Dari strategi ataupun iming iming untuk investor asing setidaknya swasembada pangan terus menjadi buah bibir pertanian dan kemajuan negeri. Dan selanjutnya kebijakan orde baru, reformasi dan pasca reformasi apakah berpihak kepada Petani?

 

Ayah saya adalah Petani, seusai shalat subuh dengan sepeda kumbang  menuju sawah, dulu tanah di Jetis, Joho, di Sukoharjo adalah tanah untuk sawah. Ada sungai untuk irigasi yang lumayan besar, tentu sebelum industri tekstil Sritex menjadi sebesar Sekarang. Ayah saya hanya Petani kasar, tanpa pekerja, bila semua dikerjakan sendiri. 

 

Dan mungkin keterbatasan saya kemudian tak mengenal hari Tani atau semacam perayaanya. Petani dalam bingkai mata saya adalah mengolah sawah, membayar iuran DharmaTirta atau membeli Pupuk berapapun harganya. Sebab ketahanan pangan keluarga lebih penting dari pada tethek bengek tentang negara.

 

Setidaknya Petani terus berupaya melestarikan ketahanan pangan keluarga, jika mereka mencari keuntungan lebih besar dan mulai berdagang itu mungkin hanya ingin beriringan dengan jaman. Maka tak heran dari beberapa group Facebook yang saya ikuti hanyalah berisi keluhan. Seabrek kebijakan, tapi tak beriring dengan kebutuhan Petani. Sebutlah tentang kartu Tani dan pupuk. Mereka ingin beli pupuk, namun pupuk ternyata langka. Mereka bisa beli pupuk, bisa subur, hasil bagus-melimpah tapi harga anjlok, rusak dan mereka hanya membuang atau membiarkan.

 

Bertani adalah naluri, untuk berekpresi dan bertahan. Di kota sudah marak dengan pertanian jaman ini. Hidroponik mungkin salah satu pilihan untuk memanfaatkan lahan dan juga menyalurkan naluri bertani.

Setidaknya, terima kasih Petani, selamat Hari Tani, semoga tetap istiqomah di jalan ini

Rempoa,  26 Sept 2020

 

Thursday, September 24, 2020

Hujan Es di Bogor

Bogor biasa disebut kota hujan, baiklah sebutan ini lebih terasa keren jika dibandingkan jika Bogor disebut kota wisata. Alam Bogor memang memiliki warisan keindahan. Bukit, jalan berkelok, hijau hamparan itulah kesejukan. Walau tak 100% kota ini dingin. Terletak di kordinat 6.6° S 106.8°E.
Kota Buitenzorg, kota tanpa kecemasan atau aman tenteram sebutan pada masa kolonial belanda, kota dengan luas 118,50 km persegi memiliki curah hujan tinggi. Dengan kelembaban 70%, curah hujan 3.500 - 4000 mm pertahun, menjadikan kota ini terasa sejuk. 
Rabu, dibeberapa wilayah Bogor dilanda angin kencang Dan hujan es. Hujan batu es merupakan batu es yang turun Dari awan yang memiliki temperature dibawah 0°. Hujan pada hari rabu kemarin seperti tidak biasa, butiran es sebesar kerikil turun seolah hujan deras yang membuat kaget. Henteng yang menerima butiran es ITU terasa berisik.
Dari hujan hari minggu, 20 September 2020 sebenarnya gejala ini Sudan ada. Di cikeas, bojongkoneng, tempat tinggal saya cuaca memang terlihat ekstrem. Semoga kita tetap hati hari, jika dengan hujan ataupun longsor. hujan es di bogor

Sunday, September 13, 2020

Baim Wong, Nenek Iro, Dan Tegal



Menjadi perantau tentu tak afdhol jika makannya belum ke warteg. Warung ini seperti jamur di musim penghujan, selain warung nasi padang, di setiap sudut jalan, di pinggir jalan hingga gang sempi tentu berdiri warteg dengan pelbagai bentuk tampilan warungnya. Lambat laun sejarah warung tegal yang bermula dari tahun 1950 menjadi penanda urbanisasi Orang Jawa Tengah beriring melayani pembangunan kota Jakarta.
Kota Bahari-- Bersih, Aman, Hijau, Asri, Rapi dan Indah. Kota ini bisa juga dikatakan kota \laut, yang merujuk pada letak kota yang berada di pantai Utara jawa. Kota dengan luas 39.68 km persegi menjadi kota perantau, yang mengirimkan banyak warganya untuk merantau di Jakarta. Tegal dalam bahasa jawa adalah ladang, yang konon hanya sebuah desa bagian dari kabupaten Pemalang. 
Sebagai penikmat tayangan youtube dan juga sebagai menikmati indahnya tayangan Baim Paula Chanel yang dimiliki artis sekaligus pengusaha Baim Wong, kota Tegal setidaknya mengerucut tentang nenek Iro, perempuan paruh baya yang oleh Baim Wong kemudian doperbantukan di rumahnya. Dulu sekali waktu pertama tanyangan Nenek Iro sempat Viral, penjuall gorengan dan juga nomaden, sehingga belum jelas tempat tinggalnya diajak Baim Wong bekerja. Tentu tanpa prasangka apapun saya menulisnya begitu. 
Penjual gorengan bagi saya adalah jamak, banyak ditemui di kota jakarta. Nenek iro adalah salah satu perantau dari Tegal yang menjalani profesi itu, bukan hanya kota tegal secara etnik perantau yang berjualan nasi, juga gorengan juga tak hanya tegal. Wonogiri, sebagai kota yang saya kenal dengan perantau banyak yang berdagang juga membuka lapak pekerjaan ini dengan tak bisa dihitung dengan jari. 
Nenek Iro mungkin beruntung, pun begitu dengan Baim Wong, artis yang biasa digosipkan berita miring negatif dan hanya sedikit mengulas kebaikannnya bertemu dengan jalan yang tak begitu mulus. Keduanya bertemu,, saling bekerja sama. Hingga layanan jasa logistik SiCepat pernah menjadikan keduanya duta.
Minggu ini setelah beberapa bulan nenek iro sakit dan harus pulang kampung, Baim Wong lewat tayangan channelnya mengunggah keberangkatan ke kota Tegal. Ini akan ada pro dan kontra tentunya, sementara Jakarta mulai besok ada penerapan PSBB lagi, kedatangan Baim Wong ke Tegal pastilah menyiptakan keramaian, kehebohan dan kerumunan orang. Menilik sejarah penyebaran virus Covid-19, Tegal adalah kota yang pertama kali mengumumkan lockdown untuk daerahnya, bupati Dedy Yon dengan lantang menggunakan pilihan. Dan bagaimana dengan Baim Wong yang datang di akhir pekan ini?
Ketika saya menulis tulisan ini, channel Baim Paula belum  mengunggah kedatangan di rumah nenek Iro, tetapi mereka sudah beberapa hari di Tegal. Lewat beberapa konten kreator yang lain, sempat mengunggah bahwa Baim Wong gagal untuk bertemu dan akhirnya mereka mengunggah bahwa BaPau berkunjung tengah malam setelah pada siang harinya gagal sebab banyaknya kerumunan.
Tentu tim Bapau tak sembarang dengan kunjungan mereka ini. Ditayangan beberapa hari lalu, mereka sudah melakukan swab tes, ini lebih akurat dibanding dengan Rapid test beberapa waktu lalu ketika mereka berkunjung ke Klaten. Kerumunan mungkin kata yang belum tepat ketika saya menuliskan, lebih tepatnya mungkin berkumpulnya massa. Banyaknya fans Bapau tak membuat benak setiap orang sama,bertemu dengan idola, artis dan mungkin orang yang mereka kagumi adalah tidak salah. Menerapkan protokol kesehatan  adalah mutlak. Semoga tak ada yang disalahkan dan penghujatan kedatangan BaPau kali ini ke Tegal. 
Terus semangat, tetap menjaga jarak, terapkan protokol kesehatan, covid adalah yang dihindari bukan untuk ditantang.
#baimwong, #bapau, #covid-19, #tegal
Sentul, 13 sept 2020
 

Palemboko, tempat nyaman penuh pesona

Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan  dan me...