Siapa yang rela kehilangan
moment sore hari. Senja telah menyentuh hati manusia dan membuat semacam ruang
sendiri di sana. Menikmati senja adalah keindahan, kenyamanan, dan sukacita.
Apalagi ketika melewati senja dengan orang yang kita sayangi, ditambah lagi
suasana yang romantis, sambil wedhangan, bersendau gurau.
Di alun-alun kidul (selatan) kita
akan mendapatkan semua itu. Menginjak jam tiga sore, tanah lapang yang berada
di selatan keraton Surakarta ini menjadi tempat berkumpulnya masyarakat
sekitar. Alhasil, semakin banyak orang berkumpul-- berkerumun juga para pengais
rezeki--pedagang. Ringin kembar setidaknya tak sendirian, ada yang bermain
bola, ada yang naik srikandi (sepeda genjot beroda empat dengan lampu
warna-warni), hanya duduk, dan tak ketinggalan pedagang dengan senyum ceria.
Saya pernah mengenal daerah ini
sebagai zona merah, yang dulu memiliki stigma negatif. Kini telah kembali
khitahnya, menjadi arena berkumpul rakyat jelata (ops, semua ada dan rata
maksudnya). Alun-alun kidul yang dulu pernah mendapat stigma lahan kupu-kupu
malam, kini telah membersihkan diri. Semua seolah memiliki lahan itu, semua
bersih dari dunia gelap, dan menjadi tempat beragam kegiatan. Dan tak ketinggalan
adalah sentra kuliner
Alun-alun kidul menjadi sentra
segala jenis dagangan rakyat, ada bakso bakar, HIK, wedhang rondhe, jagung
bakar, soto, pokoknya kuliner khas Solo pasti ada di sini, di alun-alun kidul
yang di sore hari bisa juga menjadi
tempat mencuci mata. Kata seorang teman saya yang wartawan dari Jakarta
mengatakan, seandainya di Jakarta ada ruang publik seperti ini tentu akan
mengurangi stres warga Jakarta yang dikejar waktu dan nafsu.
Sore itu saya mencoba memesan
menu baru, biasanya saya memesan rica-rica menthok atau ayam, namun saya
memilih menu baru: nasi bakar. Dalam bayangan saya nasi bakar di Solo sama
dengan nasi bakar ketika saya makan di Jakarta. Nasi bakar ini hanya murah—2000
rupiah, murah ya. Sangat murah pastinya, dengan isi suwiran ayam sepertinya
memang pas menemani sore yang syahdu itu. Tak ketinggalan minuman kopi hitam
dan wedhang ronde. Boleh dikata rakus, tetapi apa boleh buat jahe dan kopi akan
membuat sensasi tersendiri. Menu angkringan semua ada di setiap gerobak HIK,
hanya saja mungkin sedang ngetrend adalah nasi bakar ini.
Bisa dikatakan kuliner di
alun-alun kidul ini murah. Sangat murah, pembaca boleh mencoba, bahwasanya ada
soto dan kare nyewu (seribu), dan rasanya tak kalah dengan warung soto dan kare
yang memiliki branded. Inilah makanan
rakyat sesungguhnya, dan tentu harganya yang merakyat menjadi pilihan
masyarakat sekitarnya.
Kebo
Bule dan Kereta Jenazah
Hampir saja lupa jika di
alun-alun kidul ini ada kebo bule dan juga kereta jenazah. Kebo bule yang memang langka bagi warga Solo,
sebab kebo (kerbau) ini berwarna kemerahan, persis seperti warna kulit bule.
Memang ada kerbau seperti ini di daerah Toraja. Dan di Solo Kebo bule yang
terkenal adalah kyai Slamet.
Kebo yang berada di alun-alun
ini adalah keturunan Kyai Slamet itu. Memang agak aneh sih, kebo kok dikasih
nama seperti manusia, namun setiap tanggal satu Sura, atau dalam penanggalan
hijriah satu Muharram kebo ini akan dikirab keliling kota. Alhasil kirab ini
menjadi sebuah kirab paling ditunggu masyarakat Solo. Tak jarang warga yang puluhan
kilometer jaraknya dari kraton rela berjalan kaki untuk bisa melihat kirab kebo
ini. Dan pedagang akan bersuka cita jika kebo kyai Slamet berkenan mendekat,
apalagi memakannya. Ini hanya soal makan, kotoran kebo ini menjadi rebutan
penonton. Fantastis kan?
Di pojok alun-alun kidul
sebelah Barat laut, ada satu gerbong kereta. Kereta jenazah ini hanya dipakai
sekali, mengantar Paku Buwono X ke Imogiri. Gerbong kereta yang diproduksi
secara spesial oleh pada masa penjajahan Belanda ini masih terongok bersih.
Beberapa kali ada cerita mistis mengenai kereta ini, tetapi biarlah yang lalu
tetaplah berlalu. Gerbong kereta tetaplah menjadi kereta, dan sepertinya tak
terpakai lagi.
Gerimis malam satu Sura membuat
saya harus bergegas menuju mobil, menghindari air hujan bukan untuk aksi-aksian
seperti di film India, memang romantis sih. Sepertinya, apabila ditulis di sini,
romantisme alun-alun kidul tak akan pernah ada habisnya, akhir kata ringin
kembar di sana juga menunggu pandangan mata anda.