Saturday, November 30, 2013

Hampir Malam di Solo




kompetisi tulisan tentangsolo

Siapa yang rela kehilangan moment sore hari. Senja telah menyentuh hati manusia dan membuat semacam ruang sendiri di sana. Menikmati senja adalah keindahan, kenyamanan, dan sukacita. Apalagi ketika melewati senja dengan orang yang kita sayangi, ditambah lagi suasana yang romantis, sambil wedhangan, bersendau gurau.
Di alun-alun kidul (selatan) kita akan mendapatkan semua itu. Menginjak jam tiga sore, tanah lapang yang berada di selatan keraton Surakarta ini menjadi tempat berkumpulnya masyarakat sekitar. Alhasil, semakin banyak orang berkumpul-- berkerumun juga para pengais rezeki--pedagang. Ringin kembar setidaknya tak sendirian, ada yang bermain bola, ada yang naik srikandi (sepeda genjot beroda empat dengan lampu warna-warni), hanya duduk, dan tak ketinggalan pedagang dengan senyum ceria.
Saya pernah mengenal daerah ini sebagai zona merah, yang dulu memiliki stigma negatif. Kini telah kembali khitahnya, menjadi arena berkumpul rakyat jelata (ops, semua ada dan rata maksudnya). Alun-alun kidul yang dulu pernah mendapat stigma lahan kupu-kupu malam, kini telah membersihkan diri. Semua seolah memiliki lahan itu, semua bersih dari dunia gelap, dan menjadi tempat beragam kegiatan. Dan tak ketinggalan adalah sentra kuliner
Alun-alun kidul menjadi sentra segala jenis dagangan rakyat, ada bakso bakar, HIK, wedhang rondhe, jagung bakar, soto, pokoknya kuliner khas Solo pasti ada di sini, di alun-alun kidul yang di sore hari bisa juga  menjadi tempat mencuci mata. Kata seorang teman saya yang wartawan dari Jakarta mengatakan, seandainya di Jakarta ada ruang publik seperti ini tentu akan mengurangi stres warga Jakarta yang dikejar waktu dan nafsu.
Sore itu saya mencoba memesan menu baru, biasanya saya memesan  rica-rica menthok atau ayam, namun saya memilih menu baru: nasi bakar. Dalam bayangan saya nasi bakar di Solo sama dengan nasi bakar ketika saya makan di Jakarta. Nasi bakar ini hanya murah—2000 rupiah, murah ya. Sangat murah pastinya, dengan isi suwiran ayam sepertinya memang pas menemani sore yang syahdu itu. Tak ketinggalan minuman kopi hitam dan wedhang ronde. Boleh dikata rakus, tetapi apa boleh buat jahe dan kopi akan membuat sensasi tersendiri. Menu angkringan semua ada di setiap gerobak HIK, hanya saja mungkin sedang ngetrend adalah nasi bakar ini.
Bisa dikatakan kuliner di alun-alun kidul ini murah. Sangat murah, pembaca boleh mencoba, bahwasanya ada soto dan kare nyewu (seribu), dan rasanya tak kalah dengan warung soto dan kare yang memiliki branded. Inilah makanan rakyat sesungguhnya, dan tentu harganya yang merakyat menjadi pilihan masyarakat sekitarnya.
Kebo Bule dan Kereta Jenazah
Hampir saja lupa jika di alun-alun kidul ini ada kebo bule dan juga kereta jenazah.  Kebo bule yang memang langka bagi warga Solo, sebab kebo (kerbau) ini berwarna kemerahan, persis seperti warna kulit bule. Memang ada kerbau seperti ini di daerah Toraja. Dan di Solo Kebo bule yang terkenal adalah kyai Slamet.
Kebo yang berada di alun-alun ini adalah keturunan Kyai Slamet itu. Memang agak aneh sih, kebo kok dikasih nama seperti manusia, namun setiap tanggal satu Sura, atau dalam penanggalan hijriah satu Muharram kebo ini akan dikirab keliling kota. Alhasil kirab ini menjadi sebuah kirab paling ditunggu masyarakat Solo. Tak jarang warga yang puluhan kilometer jaraknya dari kraton rela berjalan kaki untuk bisa melihat kirab kebo ini. Dan pedagang akan bersuka cita jika kebo kyai Slamet berkenan mendekat, apalagi memakannya. Ini hanya soal makan, kotoran kebo ini menjadi rebutan penonton. Fantastis kan?

Di pojok alun-alun kidul sebelah Barat laut, ada satu gerbong kereta. Kereta jenazah ini hanya dipakai sekali, mengantar Paku Buwono X ke Imogiri. Gerbong kereta yang diproduksi secara spesial oleh pada masa penjajahan Belanda ini masih terongok bersih. Beberapa kali ada cerita mistis mengenai kereta ini, tetapi biarlah yang lalu tetaplah berlalu. Gerbong kereta tetaplah menjadi kereta, dan sepertinya tak terpakai lagi.
Gerimis malam satu Sura membuat saya harus bergegas menuju mobil, menghindari air hujan bukan untuk aksi-aksian seperti di film India, memang romantis sih. Sepertinya, apabila ditulis di sini, romantisme alun-alun kidul tak akan pernah ada habisnya, akhir kata ringin kembar di sana juga menunggu pandangan mata anda.   

Dari Punggung Werkudara



Dalam ingatan saya, bus tingkat hanya terbayang samar dalam pikiran. Entah, dulu  pernah menemu, melihat atau merasakan bus tingkat hingga usia saya yang 30-an tahun ini. Bus tingkat dalam bayangan saya kendaraan trasportasi yang gagah dengan ketinggian kendaraan yang tak biasa, membelah jalanan, orang-orang minggir, takjub, dan tentu sensasi berada di atas akan lain. Tentu berbeda dengan kendaraan yang lain. Hanya saja membayangkan ketika itu terlintas bagaimana untuk naik ke atasnya.
Awal 2011 kota Solo yang meluncurkan bus tingkat wisata memang menggugah penasaran, hanya sayang saya masih di Jakarta dan belum sempat naik bus tingkat itu bila pulang ke Sukoharjo. Rupanya hak saya untuk naik bus tingkat itu ada. Berbekal kebaikan dan informasi seorang teman, akhirnya tiket sudah ada di tangan. Itupun setelah dua tahun lebih menunggu.
Bus tingkat yang dinamakan Werkudara tak setiap hari melaju di jalanan kota Solo. Pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur bus tingkat itu akan beroperasi. Sebenarnya ada pada hari selain hari tersebut, tetapi mana mungkin saya sanggup membayar sewa, kalupun harus mengajak orang jelas mana mau orang Solo naik bus itu dengan tiket 20.000, berapa liter bensin yang diperlukan untuk jarak tempuh yang sama. Tapi ini kan lain.

Pada hari operasional Werkudara akan berjalan tiga kali, pada pagi jam 09, jam 12, dan jam 15. Kebetulan hari itu pas satu Muharam, dan kawan-kawan dari Jakarta ngidam naik Werkudara. Alhasil saya sudah berada di dalam bus yang dingin. Oh ada tangga untuk menuju ke atas, dan saya memilih duduk di bawah dekat tangga, toh saya sudah hapal kta Solo. Setidaknya saya juga memberi kesempatan kawan dari Jakarta untuk menikmati kota Solo.
Kebetulan sekali tempat duduknya empuk dan enak buat bersandar, sambil mendengarkan guide bus tingkat yang merdu. Ah, kalau tidak malu pasti sudah tidur.
Rute Berangkat
Rute yang dilewati yaitu, dari kandangnya bus ini  menyisir jalanan stadion Manahan, perempatan Manahan yang terkenal dengan patung Kresna memanah belok ke kekiri. Sepanjang jalan ini ada Lokananta. Produsen musik, yang menghasilkan beragam rekaman, dari piringan hitam hingga kaset audio. Saya pernah mendengar Lokananta, namun jujur jika di sini perusahaan ini berada. Aneh memang, sebagai warga Solo dan sering melewati jalan Ahmad Yani kok baru tahu di sini museum itu.
Hingga mentok dan sampai di pertigaan Kerten, Rumah Sakit Panti Waluyo dan bus belok kiri. Bus menyisir Jalan Slamet Riyadi, jalan protokol utama kota Solo. Di kanan-kiri beragam gedung perkantoran, juga tak kalah asing adalah stasiun Purwosari, di tempat ini favorit saya bercengkerama dengan kereta. Tempat wisata yang murah dan meriah, sambil wedhangan tentu akan menambah kenangan tak terlupakan. Sayang sekali Werkudara hanya melintas dan menyisir Slamer Riyadi, dan tentu juga bersisihan dengan rel yang masih dipakai. Rel ini menuju kota Sangkrah, Sukoharjo dan Wonogiri. Rel yang pernah membawa saya menuju kota Wonogiri dengan uang 2000 rupiah, sayang kereta feeder satu gerbong itu tiada. Dan  Railbus gagal beroperasi.
Ada Loji Gandrung, rumah dinas walikota Solo yang di dalamnya sungguh eksotis, ada joglo di dalam dan juga beberapa kereta kencana  yang diparkir di samping kanan rumah dinas yang pernah ditempati Jokowi ini. Setidaknya saya pernah ke sini, sehingga tahu di dalamnya. Bus ini hanya lewat dan masih menyusuri Slamet Riyadi, hingga di Gladhag. Bus belok kiri, membelakangi dua Gupala dan patung gagah Salmet Riyadi. Bus berhenti di depan Bank Indonesia, bangunan cagar budaya kota Solo.
Penumpang boleh turun, mengabadikan dan memotret moment dengan Werkudara. Di depan ada benteng Vestenburg, Bank Indonesia, Kantor Pos, dan kantor Walikota Solo.

Setelah melaju melewati Pasar Gede, bus melintas di rel yang sebelah kanannya adalah stasiun Jebres, stasiun kereta ekonomi ke arah Barat (Jakarta, Bandung. Semarang) dan Timur (Surabaya, Kediri, Malang) hingga di perempatan Panggung, belok kanan melintas di RS dr Moewardi dan Universitas Ngeri Surakarta, terus menuju Taman Wisata Taru Jurug. Di sini bus berhenti, pergantian tempat duduk—yang atas turun di kursi bawah, yang semula di bawah duduk di kursi atas untuk menikmati sensasi bus tingkat.
Rute Balik
Bus yang sudah roling posisi kembali melaju, masih menyusuri jalan Ir. Sutami, belok ke RS dr Moewardi dan di perempatan Panggung belok kanan. Saya yang ganti berada di atas memang sungguh lain rasanya. Melihat pemandangan dari bus tingkat agak aneh, namun asyik. Sayang sekali beberapa kali jendela bus terhalan daun dan ranting dari pepohonan di pinggir jalan. Tingginya bus Werkudara yang 4, 2 meter belum membuat dinas terkait membersihkan ranting agar tidak mengenai badan bus.
Perempatan Kepatihan bus belok kiri, sepuluh meter kemudian belok kanan menyusuri jalan ke Pasar Kliwon, di sini pemukiman keturuan Arab, sehingga banyak toko yang menjual aksesoris dari negeri timur tengah itu.
Arus balik hanya melewati beberapa pasar tradisional, sebutlah Pasar Gading, Gemblegan, dan yang tak kalah  keren adalah Alun-alun selatan kraton Surakarta. Walau hanya lewat setidaknya memberikan gambaran bahwa Alun-alun Selatan masih menyediakan ruang bagi wisatawan.
Akhirnya dari Laweyan yang terkenal dengan kampung batik bus Werkudara melaju ke utara, melintas di Slamet Riyadi menyusuri jalan Muwardi, melewati lapangan Kota Barat dan kembali ke kandang.
Perjalanan yang sungguh nikmat, nyaman yang dilakukan di bus tingkat telah menorehkan pengalaman tersendiri.  Kapan anda akan mencoba!


kompetisi tulisan tentangsolo


Wednesday, November 13, 2013

Sebenarnya Saudara

Siapa pernah merenung, kembali ke masa lampau. Seolah kita menjadi Adam, yang telah menikmati pelbagai nikmat surga kemudian harus menjalani pengasingan di bumi. Wilayah yang asing, tak ada pengetahuan, tak sesiapa, hanya alam dan ayat yang harus dikaji demi pengetahuan masa depan. Seolah kita menunggu Hawa, yang telah diciptakan dari tulang rusuk yang memang sudah digariskan kepada hidup kita.

Bagaimana mula dua sejoli itu belum bertemu. Apa gerangan yang kedua manusia yang mulanya berpasangan menjalani untuk menunggu pertemuan. Oh, alangkah sepi dan tak tentunya perasaan. Mungkin (saja) sebab ketaatan kepada ALLAH yang membuat keduanya Ikhlas dan bersabar. Hingga bertemua dan membentuk sebuah koloni, atau kita menyebutnya keluarga.

Keluarga, sungguh kata yang belakangan hari semakin melebar dan mengerucut makna yang kemudian melekat dalam jiwa saya sebagai sebuah arti yang sama dengan sejiwa sepersaudaraan.

Setidaknya memiliki keluarga adalah impian, bisa menumbuh kekeluargaan adalah berkah yang harus senantiasa disyukuri. Saya memiliki keluarga sejak kecil, kemudian bertumbuh kekeluargaan dengan orang lain. Menjadi saudara dengan orang yang sejalan dengan kita.

setidaknya saya juga memiliki keluarga yang melebihi dari saudara kandung. saudara yang selalu mengingatkan dan menumbuhkan cinta saya. Oh, keluarga yang melebihi saudara kandung yang tentu telah digariskan oleh Takdir. Saya memilikinya....
 
Curhatan aneh

Palemboko, tempat nyaman penuh pesona

Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan  dan me...