Thursday, June 6, 2019

LEBARAN, RELIGIUSITAS, DAN SOSIOPOLITIK




Judul yang ngedab-ngedabi ini hanyalah sebuah mimpi yangg tak tercapai dari seorang anak kampung yang gagal untuk menjadi terkenal. Dalam suasana masih lebaran, maghrib menanjak hari ke 2 syawal 1440 H kami bersemuka menghadap kue dan kopi. Saya, anak kampung itu. Abang saya yang asli Kalimantan, uda Irwan asli Padang, dan seorang lagi anak muda dari Aceh. Obrolan kami tetap sama, tentang sosiopolitik. Ini obrolan santai yang enak walaupun sudah sebulan gawai lawas saya tak ada media sosial atau berita.


Pilpres masih terendap dalam ingatan, begitu banyak obrolan yang tak pernah selesai. Sebuah dendam seolah terus daja tumbuh, saya tak bisa memberangusnya. Pilihan bagi kami adalah religius bukan tentang sosok, namun tentang segala hal. Kami memilih bukan sekedar wangsit, atau rekam jejak, lebih dari itu. Kalau mau diurai tentung halaman pikir tak akan maumpu menampung.

Bukankah korban nyawa pemilu begitu tak penting bagi negara. Nyawa hanyalah hitungan angka. Sedikit rasa kemanusian telah membuat sebagian menjadi abai dengan kemanusiaan. Ratusan nyawa itu mungkin bukankah saudara pemangku kebijakan, mereka yang menjadi korban itu hanyalah tugas, dibayar, dan selesai. Lalu dapat tunjangan terus dan terus...

Lalu kami menuju aceh, referendum. Aceh yang kaya, yang didalam tanahnya kaya dengan tumpukan uranium. Yang kono menjadi ladang emas baru bagi para penjual negeri ini...sebelum tulisan ini hangus dan ngalor ngidul, tetap saya sudahi. Lebaran bagi kami adalag religiusitas, begitu halnya pilihan dab sosiopilitik, kalian boleh tidak sependapat, kami terima, kalau kami tak sependapat dengan kalaian, juga tetaplah menjadi manusia beradab – menerima kami. Bukan begitu....

CHANDRA BARU 1440

Wednesday, June 5, 2019

LEBIH BAIK LEBARAN DI KOTA ORANG DARIPADA HUJAN BATU DI DESA SENDIRI




Apakah takbir yang sudah dilantangkan dari semalam adalah serupa peluru untuk mengusik sebuah pendirian. Mudik atau tetap tinggal. Mudik konon dalam sebuah dongeng yang hampir milenial adalah sebuah gerakan untuk pulang kembali ke desa. Pulang tetaplah pulang dan kembali adalah sebuah kata kerja yang bisa berdiri sendiri, apakah mereka pulang atau kembali itu adalah hak mereka. Mereka mungkin sedang menjalani niat sebagai manusia yang modern. Yang setia merawat masa lalu dan tetap membawa masa yang kini.  Dan saya tetap tak mudik, masih tinggal di kota orang, dan yang mungkin kelak menjadi  kotaku.
Pulang tetaplah ke rumah, rumah dalam artian sebuah tempat yang telah merawat masa kecil, menumbuhkan pikiran kecil dan telah menumbuhkan mereka menjadi pikiran besar. Pikiran kecil tetaplah harus dijaga, maka mereka akan pulang menjemputnya. Bisa jadi pikiran kecil itu lebih baik dipilih daraipada tetap selalu berpikiran besar. Maka mereka kembali,  membutuhkan orang-orang yang telah berjasa menumbuh dan merawat pikiran kecil, untuk merasai betapa dalam pikiran yang besar mereka tetap mencoba hadir.
Pagi sekali, ketika ayah Mistam sudah bersiap ke lapangan untuk sholat ied, sayapun tegap bersiap. Lelaki yang sudah 96 tahun merasai dunia memang sering berangkat sholat bareng saya jika saya tak mudik. Ayah, saya memanggilnya kelahiran Makasar yang masih memiliki ketajaman berpikir dan ingatan itu  harus memakai tongkat untuk menuntun langkah. Saya kemudian merenung, mungkin saja yang mudik juga sepikiran dengan saya, menuntun orang tua mereka yang telah menua menuju lapangan. Mengantar orang tua yang telah berjasa dengan mobil atau motor yang pada hari ied pasti akan terlihat sebagai sebuah pawai. Saya teringat tahun lalu ketika mudik, ke alun alun Sukoharjo yang dari rumah sekita 1,5 kilometer saya seperti sedang berjalan kaki sendiri. Tetangga dan beberapa teman yang kebetulan memiliki kendaraan tetaplah santai melaju, sendirian dan tak membawa orang tua mereka.
Kesucian jiwa dan hati yang telah disepuh dengan ketakwaan selama sebulan semoga menjadikan kita sebagai manusia yang beradab. Adab tetaplah lebih di atas segalanya. Bolehlah engkau memiliki ilmu yang luas, pangkat yang tinggi, adab tetaplah menjadi dinomorsatukan.

Kadang saya sendiri bingung mau nulis apa, tetapi ini pelajaran menulis saya yang kedua....
1 syawal 1440 H, CHANDRA BARU


Tuesday, June 4, 2019

KENAPA KEMBALI NOL


Sudah memasuki 5 Juni 2019, atau mulai maghrib tadi muncul bulan syawal, iya sekarang sudah satu syawal. Kembali fitri, Iedul  yang raya, taqoballalhu minna wa minkum, mohon maaf lahir bathin. Kita punya salah, saling memaafkan, siapapun kita. Tak perduli bangsa, warna kulit, agama, atau keyakinan politik. Saling membuka dhiri. Kita mulai dari nol.

Kenapa harus nol. Inilah indahnya manusia. Kita ada saatnya berbuat salah, ada saatnya meminta maaf. Sebagaimana manusia yang jamak, memiliki dosa adalah bertaubat. Kenapa harus bosan bermaafan, tak bosan mengucap taubat. Sebab beginilah manusia. Manusia konon manusia sempurna, kita punya rasa takut, marah, benci, dan sekaligus kita punya welas asih, saling mengasihi. Siapa tak punya rasa ini, boleh jadi sudah saatnya bercermin. Benarkah aku manusia?

Di satu syawal ini semoga menjadi hari baik. Bukankah kita ingin adanya syawalun, meningkat secara jasmani dan ruhani. Kita tak ajeg berada, ada kalanya memang kita lupa sebagai manusia, ada kalanya kita menjadi seorang penghamba yang begitu dekat dengan sang pencipta. Demikian pembuka tulisan blog ini yang mencoba kembali hadir. Selamat merayakan kefitrian, yang tersusah adalh menjaganya tetap fitri, melekatkan Ramadhan dan syawal senatiasa dalam dhiri

Chandra Baru, 1 syawal 1440 H

 



Palemboko, tempat nyaman penuh pesona

Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan  dan me...