Judul yang
ngedab-ngedabi ini hanyalah sebuah mimpi yangg tak tercapai dari seorang anak
kampung yang gagal untuk menjadi terkenal. Dalam suasana masih lebaran, maghrib
menanjak hari ke 2 syawal 1440 H kami bersemuka menghadap kue dan kopi. Saya,
anak kampung itu. Abang saya yang asli Kalimantan, uda Irwan asli Padang, dan
seorang lagi anak muda dari Aceh. Obrolan kami tetap sama, tentang
sosiopolitik. Ini obrolan santai yang enak walaupun sudah sebulan gawai lawas
saya tak ada media sosial atau berita.
Pilpres masih terendap
dalam ingatan, begitu banyak obrolan yang tak pernah selesai. Sebuah dendam
seolah terus daja tumbuh, saya tak bisa memberangusnya. Pilihan bagi kami
adalah religius bukan tentang sosok, namun tentang segala hal. Kami memilih
bukan sekedar wangsit, atau rekam jejak, lebih dari itu. Kalau mau diurai
tentung halaman pikir tak akan maumpu menampung.
Bukankah korban nyawa
pemilu begitu tak penting bagi negara. Nyawa hanyalah hitungan angka. Sedikit rasa
kemanusian telah membuat sebagian menjadi abai dengan kemanusiaan. Ratusan nyawa
itu mungkin bukankah saudara pemangku kebijakan, mereka yang menjadi korban itu
hanyalah tugas, dibayar, dan selesai. Lalu dapat tunjangan terus dan terus...
Lalu kami menuju aceh,
referendum. Aceh yang kaya, yang didalam tanahnya kaya dengan tumpukan uranium.
Yang kono menjadi ladang emas baru bagi para penjual negeri ini...sebelum
tulisan ini hangus dan ngalor ngidul, tetap saya sudahi. Lebaran bagi kami
adalag religiusitas, begitu halnya pilihan dab sosiopilitik, kalian boleh tidak
sependapat, kami terima, kalau kami tak sependapat dengan kalaian, juga
tetaplah menjadi manusia beradab – menerima kami. Bukan begitu....
CHANDRA BARU 1440