Sebelum Magrib, JBtara Kawi (Panggurit, Cerkak(er), Penyair, Cerpenis, mahasiswa) mengirim pesan ke saya. Ia sudah di TBJT (Taman Budaya Jawa Tengah) bahwa buku antologinya sangat keren, apik, dan beliu sudah di kamar atas di wisma seni. Padahal saat itu saya hanya ingin sekedar tidur, badan tidak enak dan memang sedang tak fit. Membaca pesannya saya kembali ingat : ada perhelatan akbar di Teater Arena (kompleks TBJT).
Malam Minggu yang ramai. Jalanan padat, merayap dari Pandean hingga Kenthingan, Solo. Motor dengan meringkik pelan mengendus jalanan Solo yang panas, yang bikin gerah pengendara dan pikiran. Kurang lebih 45 menit, masuk lokasi TBJT menuju Teater Arena yang sudah ramai, memang kebanyakan penyair luar kota. Penyair yang kawakan dan pengalaman.
Memarkir motor, dan sebelum turun tangga disapa seseorang. Aku kurang mendengar namanya, hanya saja sedikit mengobrol dan mengajaknya ke depan, sebab mencari Btara Kawi. Orang itu tak mengikuti, aku tengok dia sudah tidak ada. )Hingga tulisan ini diketik rasa bersalah itu masih ada, mungkin aku dianggap sombong.)
ternyata dia Eko HM dan sebagian tulisan ini aku ambil dari blognya
http://serampaikata.blogspot.com/2012/04/antologi-puisi-pendhapa-14-requiem-bagi.html
Acara "Panggung Sastra Indonesia: Murtidjono, Chairil Anwar, dan
Kebebasan Ekspresi" dengan tema " Ruang Ekspresi dan Elan Kreatif"
sukses besar. Panggung Sastra bertajuk Requiem bagi Rocker ini
diselenggarakan TBJT bersama dengan Forum Sastra Surakarta, Sabtu
(21/4), bertepatan dengan Hari Kartini dan 100 hari memperingati
Murtidjono. Koordinator Sastra TBJT, Wijang Wharek J Riyanto berharap,
selain memperkaya khasanah sastra Indonesia, peluncuran buku ini
diharapkan menjadi sebuah ziarah dan “doa” mereka untuk Chairil Anwar
dan Murtidjono.
Ada 128 puisi para penyair berbagai daerah yang termuat dalam antologi itu. Mereka adalah orang-orang hebat menurutku. Tahulah
saya selalu suka seorang penyair yang benar-benar intens akan dunia sunyinya.
Mereka dari lintas generasi yang berbeda dan dari latar belakang yang
berlainan pula. Namun spirit mereka dalam sastra khusus puisi sangat
besar. Para generasi tua seangkatan pak Murtidjono atau kawan-kawan
beliau hadir mencurahkan rasa kerinduan akan sosoknya. Generasi muda
baik yang sudah banyak makan garam maupun pemula juga turut hadir
menyaksikan ruh spirit mendiang pak Murtidjono. Semangat kebebasan berekspresi.
Dari berbagai daerah Indonesia, Medan, Pati, Cilacap, Tegal,
Purwokerto, Semarang Magelang, Jogjakarta, Solo, Slawi, Ngawi, Surabaya,
bahkan dari pulau Celebes (Sulawesi) pun hadir. Sungguh semangat yang
berapi.
Hadir keluarga mendiang pak Murti. Pak Murtidjono bukan lagi milik
pribadi, bukan lagi milik keluarga yang ditinggalkan. Beliau telah
menjadi milik publik. Milik kita para penyair dan masyarakat. Bagaimana
para penyair hadir mengapresiasi spirit pak Murti. Inilah keterikatan
yang indah.
Konsep dan tata panggung yang super keren. Saya kira ini kerja duet Wijang Wharek dan Sosiawan Leak (penyair dan kreator acara ini). Ada 3 panggung di atas penonton, Kanan, kiri, tengah, dan tentunya di depan sebagai panggung utama. wuihhh serasa melihat sesuatu yang beda (biasa saya kan sebagai manusia yang gagap dengan pertunjukkan). Panggung kecil itu untuk penyair yang membaca karyanya. Akan ada empat penyair yang naik panggung itu. Tak lupa lagi adalah bambu, sebagai ornamen. Pohon bambu diambil dari puisinya Beno Pamungkas, dari Semarang. Bambu lengkap dengan daunnya yang menjuntai.
Wijang Wharek adalah penyair pertama setelah sambutan membaca puisinya. Masih dengan semangat Rocker (sepatus lars dan celana doreng), dan suara yang melengking khas Wijang. Sosiawan Leak menjadi moderator, memandu acara hingga performance itu bisa disebut luar biasa.
Kemudian acara pembacaan puisi yang sangat berkesan adalah ketika
sepasang penyair membacakan puisi. Dengan diiringi biola yang mendayu
membuat ikut larut kedalam. Dan si penyair perempuan tuntas membacakan
teks-teks puisi dengan sangat sempurna. Saya suka. Namun ada satu
penyair yang bikin semua tertawa dan tergelitik, Syam Chandra Manthiek.
Gaduh ramai. Puisi berjudul Hendonesyah sukses menyedot api suara
dari para hadirin. Di sela-sela ia membaca puisinya ia melemparkan uang
kearah penonton. Hahaha.. Semua tertawa. Uang kertas berwarna hijau,
biru dan merah segera lenyap diterkam para macan-macan lapar.
Acara sampai larut malam. Jam setengah dua belas malam bersama Btara Kawi keluar mencari minum. Menuju HIK yang memang gratis. Bertemu Abednego Afriadi (cerpenis, cerkakis, jurnalis) yang mengajak ngobrol di HIK. Gunawan Tri Atmojo (Cerpenis, Penyair kebanggan Solo) sudah wedangan dengan santai setelah tadi membacakn puisinya. Kami hanya mengobrol sebentar, ringan dan masuk ke hati. Dan theng (kata Abednego) harus pulang, setengah dua belas. Badan masih sakit, akhirnya mengikut pulang walau tak membaca puisi.
Meningglkan pertunjukkan yang luar biasa. Ekspetasinya begitu besar. Ini
adalah lompatan bagi para penyair yang puisinya termuat dalam antologi
itu.
*(maaf kepada Eko HM yang sebagian kalimatnya aku ambil. inilah resiko punya kenalan yang jago copy paste)*