Saturday, April 18, 2015

Tentang Hari Libur, Pengangguran, dan Liburan



Baiklah, dunia ini kan beraneka rupa orang, manusia, dan berjenis-jenis  profesi. Bolehlah saya sebut profesi yang dekat dengan saya, mereka adalah teman-teman saya, dan mungkin hal yang sama juga ada di lingkungan kawan semua. Ada dokter, PNS, karyawan swasta, wiraswasta, salesman, penulis. Saya menyebut hanya beberapa saja profesi kawan saya itu, ada seorang teman saya selain Pegawai Negeri juga seorang pedagang, ada seorang kawan saya yang penulis juga berdagang kue. Pokoknya multiprofesi dan kegiatan adalah semakin multi komplek perkawanan dan lingkungan. 
Saya sendiri adalah pengangguran. Sementara ini menganggu dan seolah memaksa saya merenung adalah profesi teman saya. Jelas sebagai pengangguran 24 jam lebih saya tanpa aktivitas, tentu selain tidur dan sunnah hidup yang lain. Bisa dibilang saya ini contoh tanpa aktivitas produksi, namun maksimal konsumtif.
Teman saya yang PNS  harus berjibaku dengan jam kerja. Di Jakarta waktu seolah hubu (oughh apa iki) bisa dibayangkan jika seusai shalat subuh kudu bisa berangkat ke kantor, sampai kantor sebelum jam 7 pagi, dan lepas dari jerat macet jalanan. Lain teman saya yang bekerja di bank syariah, berangkat kerja sebelum anak-anaknya bangun, dan pulang mendapati anaknya sudah terlelap dalam mimpi. Teman saya yang kerja di bank ini seorang ibu, bisa saya bayangkan bagaimana detak jantung dan kakinya.
Bisa dibilang teman saya satunya yang dokter agak santai. Setelah pensiun dari menjabat direktur rumah sakit maka full 24 jam berada di rumah, membuka praktik di rumah, bersama istri dan cucu di rumah. Sesekali pasien datang berobat, walau bisa dihitung pasien yang berkunjung, toh kami bersepakat ini masih dinamakan rezeki. Bahwa sehat, waktu, keluarga, harta, pangkat, adalah rezeki. Trus apa yang harus saya sampaikan jika kita menamai semua rezeki. Hendaklah bersyukur, banyak mengingat ALLAH, menjadi hamba mulia. 
Kesamaan kami sama, menikmati liburan. Kami sering liburan bersama. Dua minggu sekali menginap di gunung, atau melakukan perjalanan ke daerah untuk bersilaturahmi dengan saudara, teman, atau kenalan. Kami pernah ke Makkah, Madinah, Padang, Solo, Kediri, atau Lembang. Kami liburan bersama dan tak ada sekat bahwa kami ini siapa, memiliki harta berapa, berpangkat apa, atau melupakan persaudaraan kami bukanlah juga persaudaraan dunia

Friday, April 10, 2015

Dialog di Meja Makan: Roti dan Singkong

Membuka hari tentu dengan asupan yang cukup, asupan untuk ruhani dan juga asupan untuk jasmani. Bisa diartikan untuk cahaya diri serta kesehatan raga. Kenapa setiap hal harus kita kembalikan kepada keilahian. Apakah mudah membentuk tubuh, apakah mudah menciptakan manusia, melengkapi dengan perangkat—yang terlihat atau yang kasad indrawi. Manusia diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan, lalu apakah kita diam saja, lalu menyikapinya dengan biasa-biasa wae. Ada adab sebagai manusia yang ingin kembali suci: bersyukur. Pun begitu dengan sarapan, saya memisalkan sarapan hendaklah yang pas. Pas di sini bisa diartikan sesuai kebutuhan. Tubuh memerlukan gizi cukup, untuk tenaga dan pelbagai aktivitas. Penimbunan gizi, kurang terserapnya tenaga bisa mengakibatkan kegemukan, seperti saya contohnya. Gemuk sedari kecil sepertinya bukan sebab banyak gizi, bisa saya analisa kegemukan saya sebab terlalu banyak makan. Oughh ini rupanya yang membuat saya kurang bersyukur terhadap jasmani. Mulut bisa bersyukur, namun raga sepertinya sering lupa. Makanan adalah energi. Makan adalah nafsu, mengurangi nafsu makan adalah langkah untuk bersyukur. Bisa jadi dengan mengurangi makan kita sedikit bisa menghentikan laju negatif dalam tubuh. Biasa kalau kiyai pas bulan puasa, mengurangi makan sama saja membunuh setan. Tentu saja setan dalam diri, sifat negatif yang bermnakna kemurkaan. Lalu dengan sederhana sarapan saya pun kini berubah. Roti atau singkong, dua makanan yang sepertinya lama tak tersentuh. Kaya karbohidrat dan mengurangi rasa lapar yang berlebih. Singkong yang di Jakarta sekilo empat ribu rupiah sudah cukup banyak, bisa dimakan lagi sore hari. Singkong bisa menurunkan gula darah jika kita menjadikannnya sebagai pengganti nasi. Pun roti, hanya saja sebagai anak kampung roti bolehlah sesekali menikmatinya. Selamat berhari libur, tetap bersyukur, menikmati makan sambil mengingat saudara kita yang lain.

Omah Gedheg: Tentang Sakit, Sebuah Ikhtiar, dan Syukur

Omah Gedheg: Tentang Sakit, Sebuah Ikhtiar, dan Syukur: Siapa yang menginginkan sakit, lalu pertanyaan selanjutnya begitu burukkah kata “Sakit” itu sehingga hampir semua orang tak ingin didekati. ...

Tentang Sakit, Sebuah Ikhtiar, dan Syukur

Siapa yang menginginkan sakit, lalu pertanyaan selanjutnya begitu burukkah kata “Sakit” itu sehingga hampir semua orang tak ingin didekati. Orang tak memiliki uang tak apa asal tak sakit. Tak apa miskin asal tak sakit, benarkah demikian. Ada keinginan mutlak dari ALLAH, sunatullah, kita mesti merasakan sakit. Bukankah banyak sakit, sakit fisik, ruhani, sakit hati. Semua sakit harus dikembalikan kepada ALLAH, maha pemilik segala, PEMILIH Kehendak. Lalu ketika sakit kemana kita berobat. Pelbagai macam klinik pengobatan menjamur, gang sempit, pertokoan, rumah sakit, yang megah, sederhana, sampai gubug reyot di tengah hutan adalah tempat manusia mencari ikhtiar untuk sembuh. Saya teringat sebuah pesan dari guru saya, semua menuju kepada jalan ALLAH, hingga banyak sekali goda, ujian, lalu kita terperosok dalam jalan yang dimurkai ALLAH. Ada satu ikhtiar yang kudu dikembalikan kepada akal iman. Kemana mencari obat, siapa yang bisa mengobati. Bisa jadi kita tergelincir sebab ujian sakit ini. Dalam sebuah perjalanan saya bertemu dengan seorang lelaki tua, rambutnya gondrong, hampir sama dengan saya. Ia tak mengeluh, juga tak pernah berkesah dengan sakit dalam tubuhnya. Saya tahu pasti beliu sakit. Selalu tersenyum, tersenyum. Ada satu kalimat yang terus terngiang hingga kini dalam hati saya: banyak bersyukur, banyak bersyukur, kita lebih banyak lalai daripada mengingat begitu banyak rahmat dan keindahan hidup dari ALLAH. Selamat bermalam libur, tetap jaga hati, dan istiqomah

Tuesday, April 7, 2015

Adakah Alasan untuk Tidak Bahagia

Selamat Siang, kawan, sudahkah setengah hari ini kita lalui dengan hati pernuh kebahagiaan. Apakah ada alasan untuk kita tidak bahagia. Coba sebagai kawan yang baik saya mendengarkan satu saja hal yang tak membuat kita bahagia. Lalu coba bandingkan dengan kemutlakan hidup kita. Masih besaran mana prosentasenya, saya tetap yakin bahwa bibit kebahgiaan telah kita miliki. Tak ada alasan untuk tidak bahagia bukan. mari bersama mendekat dalam lingkup kebahagiaan, sebab saya yakin kebahagiaan hari bukanlah kebahagiaan yang kaffah, masih ada kebahagiaan paling hakiki. Salam Istiqomah...

Jika Pagi Begitu Berharga

Ketika membuka mata seolah kita terlahir kembali, kita kembali ke dunia nyata. Entah, sebab apa kita terbangun. Bisa saja sebab Azan, kesibukan anggota keluarga yang lain, atau sebab suara yang sedikit mengagetkan. hidup ini kan kompleksitas, segala persoalan dan hal satu berkait kelindan dengan yang lain. Kita bangun dan mendapati yang ada seolah sebuah anugerah. Ini hari kita, mari menyelami, menikmati dan membuatnya barakah. Hal mengenai suasana hati tetaplah kita pelihara, janganlah sesuatu hal membuat suasana hati akan rusak, tak nyaman, dan yang ada adalah hal yang tak kita inginkan. Pernah ingat sebuah pesan : Hari ini indah sebab kita bahagia. Ah, hidup kan ngurupi meminjam istilah jawa, mari kita memeberi manfaat pada hari kita. InsyaALLAH amin.

Monday, April 6, 2015

Manajemen Kapitalisme Dhiri

Pernah merasakan emosi, merasakan kesel yang teramat besar. Tak hanya sebesar batu, Ini sebesar Bumi. Pun dengan Politik yang belakangan hari berseliweran di atas kepala dan seolah menjadikan kita adalah cangkang yang perlu diselimuti. Selimut dalam arti harfiah adalah sengaja menutup dingin dhiri, tetapi ini lain kita dipaksa dengan kelembutan bahwa politik adalah kehidupan kita. politik adalah area nyaman untuk kita nikmati hawanya, walaupun kita tahu politik bukanlah kita, Dan KITA BUKANLAH POLITIK. Hadeuhh kok gini sih, politik bisa membuat kita kaya, kaya secara materi dan pemujaan, tetapi memiskinkan kenyamanan dan ketenangan hati. Kapitalisme Dhiri begitu kuat merongrong kita akan haus dengan pelbagai pemujaan, beragam teori yang dirunut dari beragam bacaan teori, buku-buku menumpuk, tetapi teori orang, teori laku dari orang lain. INGATLAH LAKU SESEORANG bukanlah laku kita. you agree? whhahaha Meminimalkan suara, menahan sedikit emosi, membendung ego dhiri agar tak menjadi orang kebanyakan. Bukankah kita dilahirkan berbeda dengan orang lain, kita boleh kok tak sama dengan orang lain. Hati kita yang bicara dan bersuara bukan meminjam hati orang lain.... ngopi sik, kawan, hidup hanya persinggahan bukanlah tujuan.

Palemboko, tempat nyaman penuh pesona

Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan  dan me...