Monday, October 14, 2013

Melabeli dengan Ikhlas




Ketika kita teringat sebuah kisah yang menjadi penanda agung tentang keikhlasan berkorban, tentu lompatan ingatan akan berkunjung kepada Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail. Dengan tidak mengenyampingkan dan menyisihkan utusan manusia suci yang lain, kedua nama ini telah menjadi pelaku dari sebuah momentum yang historik, sehingga peristiwa itu diabadikan tak hanya hingga sekarang, tetapi hingga akhir zaman..
Seorang ayah yang sangat begitu mencintai anaknya mendapat sebuah mimpi yang tak bisa ditawar. Mimpi untuk menguji keteguhan Iman kepada Sang Maha Pemilik. Sang anak yang mendengar tutur sang ayah berusaha ikhlas menerima keputusan paling bijak. Perintah paling mutlak kebenarannnya dan tak bisa disangkal pun memerlukan komunikasi dengan pihak yang berhubungan dengan objek kebijakan yang akan diambil. Pelajaran paling mulia dari sang ayah yang begitu mencintai anaknya. Semua hanya titipan, hanya sementara.
Menjadi manusia harusnya memunyai rasa dalam dirinya bahwa ia memang kecil, merasa ketitipan peparing, dan ia bukanlah siapa-siapa, maka ia tak akan menyombongkan diri. Rasa ini harus dilekatkan oleh manusia siapa saja. Pejabat  tak akan menggunakan jabatan yang dilekatkan kepadanya dengan sewenang-wenang. Pemangku kebijakan tak sembarang membuat peraturan yang hanya menguntungkan sebagian pihak dan menzalimi pihak lain. Sebagai masyarakat harus sebisa mungkin memilah dan memilih mana yang menuju pada persatuan dan hal yang mana dapat memecah persatuan.
Individu memiliki kebebasan dalam bertindak, selama hal itu tidak merugikan orang lain. Berkorban adalah salah satu cara kita menjadi individu yang peduli dengan diri sendiri dan orang lain. Berkorban adalah peribadahan yang multidimensi, satu sisi menjadi penghambaan kepada Pencipta, di sisi lain ini sebagai bentuk pemerataan  dan hubungan sosial dengan individu yang lain. Individu bukanlah pemilik mutlak sesuatu hal, kepemilikannya memiliki cecabang yang berhubungan dengan individu lain. Maka   menggunakan yang bukan mutlak miliknya tidak boleh sembarangan. Ada konsepsi dan tata aturan yang termaktub dalam kitab suci atau peraturan yang lain.
Berkorban adalah peristiwa “penghancuran” diri. Semua hal dari diri yang membelengunya semaksimal mungkin dihancurkan. Berusaha ikhlas untuk mengeluarkan harta, membeli kambing atau sapi, lalu membagikan dagingnya kepada orang lain bukanlah semata-mata sebab uang. Mustahil memang jikalau manusia berkorban hanya untuk pamrih demi tujuan yang sesaat. Ada sesuatu yang jauh untuk diraih. Ada berlian yang jauh untuk diraih dan sebagai cahaya kelak setelah berpulang pada keabadian.

Politisasi Raya Hewan Korban  
Budaya baru yang timbul dari Hari Raya Kurban adalah pelabelan. Hewan kurban yang dikalungi kain selempang. Ada sapi presiden, selempang nama wakil rakyat, nama bupati dan pejabat birokrasi yang lain memang sudah begitu jamak. Kejamakan yang sepertinya akan terus dilestarikan oleh pihak-pihak yang pintar memanfaatkan momen. Menganggap Idul Korban adalah peristiwa politis. Memang tak ada yang menyalahkan, hanya peradilan amal yang kelak menghakimi. Bukan tulisan ini atau siapa saja yang senantiasa menggaungkan pada ajakan untuk keikhlasan.
Hal ini juga berimbas kepada sekelompok orang, yang memiliki basis orpol (organisasi politik)  atau ormas (organisasi masyarakat) yang demekian juga memakai cara yang sama. Sapi dan kambing yang dikalungi selempang ormas memang tak ada yang menyalahkan, tak ada saling serang keberadaan hewan berkalung selempang nama.
Bendera kelompok memang begitu sakral. Bendera itu harus dikibarkan di mana saja dan kapan saja bila boleh. Apalagi untuk peristiwa yang melibatkan orang banyak, bendera menjadi senjata utama untuk mengiris hati massa agar mengakui keberadaan kelompoknya. Lebih penting mana bendera kelompok atau  keikhlasan?
Sebaiknya kembali pada Katimuran, sebagai pijakan etika. Ini hanya sebagai etika, sebagai adab yang seharusnya budaya katimuran selalu dipegang teguh tongkatnya. Bukankah bila berinfaq tangan kiri tak boleh tahu. Ini soal yang lebih besar tentang pendewasaan peradaban. Hewan korban bukanlah tunggangan politis. Ia adalah hewan kurban untuk tunganggan menuju yang lebih baik. Hewan yang kelak dengan cahaya yang begitu terang menuju kepada peradilan yang paling adil. Hewan yang menyucikan dan menyejahterakan.
Idul adha adalah penghancuran terhadap kesombongan diri. Kedirian yang seharusnya lebur dan menyatu dengan diri orang lain, merasa sama dan sederajat dengan orang lain, merasa senasib dan sepenanggungan sebagai khalifah bumi, dan juga sebagai makhluk yang diukur tingkat ketakwaan oleh Tuhan, bukan manusia ataupun makhluk lain.
Agama memunyai fungsi psikologis dan sosial. (1)Fungsi psikologis yang tecermin di saat kita beribadah kita hanya mengharap ridha Tuhan, dengan begitu kita mendapat ketenangan, tak ada yang membuat kita sedih atau risau jika kita beragama. (2)Fungsi sosial akan mengalir pada akar tujuan bila dalam pelaksanaan aturan agama juga memerhatikan individu yang  lain, sebagai satu kesatuan sosial yang terkecil. Menghormati orang lain akan menciptakan religiusitas sosial. Dengan demikian akan menekan ketegangan yang berimbas pada  konflik sosial.
Idul korban menjadi jembatan untuk menyatukan segenap bagian masyarakat, bukan memetakan kelompoknya dalam kain selempang hewan korban dan juga daging dengan kupon organisasi tertentu. Daging korban adalah harus  dengan kupon dan juga label ikhlas untuk semua. Daging yang yak hanya untuk umat Islam saja, tetapi untuk semua umat manusia. Daging untuk menyatukan semua umat agar bersatu dalam kerukunan dan kebersamaan social.
Idul korban  boleh disebut tonggak pengurbanan tanpa pamrih, selain ikhlas dan mengharap ridha Allah, tentu tak ada yang lain. Bersedia berkurban untuk menghormati orang lain, dengan menyimpan ambisi untuk menunaikan kewajiban diri yang bisa menyakiti orang lain adalah tujuan kita berkurban. Jangan sampai setiap tahun merayakan hari raya kurban selalu berakhir dengan membuka penyakit dan memberikan luka untuk orang lain, tentu kita tak ingin amal ibadah kita sia-sia atau muspra. Siapa berani melabeli hewan korban dengan ikhlas?


Palemboko, tempat nyaman penuh pesona

Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan  dan me...