Ketika kita teringat
sebuah kisah yang menjadi penanda agung tentang keikhlasan berkorban, tentu
lompatan ingatan akan berkunjung kepada Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail.
Dengan tidak mengenyampingkan dan menyisihkan utusan manusia suci yang lain,
kedua nama ini telah menjadi pelaku dari sebuah momentum yang historik,
sehingga peristiwa itu diabadikan tak hanya hingga sekarang, tetapi hingga akhir
zaman..
Seorang ayah yang
sangat begitu mencintai anaknya mendapat sebuah mimpi yang tak bisa ditawar.
Mimpi untuk menguji keteguhan Iman kepada Sang Maha Pemilik. Sang anak yang
mendengar tutur sang ayah berusaha ikhlas menerima keputusan paling bijak.
Perintah paling mutlak kebenarannnya dan tak bisa disangkal pun memerlukan
komunikasi dengan pihak yang berhubungan dengan objek kebijakan yang akan
diambil. Pelajaran paling mulia dari sang ayah yang begitu mencintai anaknya.
Semua hanya titipan, hanya sementara.
Menjadi manusia harusnya
memunyai rasa dalam dirinya bahwa ia memang kecil, merasa ketitipan peparing, dan ia bukanlah siapa-siapa, maka ia tak akan menyombongkan diri. Rasa
ini harus dilekatkan oleh manusia siapa saja. Pejabat tak akan menggunakan jabatan yang dilekatkan
kepadanya dengan sewenang-wenang. Pemangku kebijakan tak sembarang membuat
peraturan yang hanya menguntungkan sebagian pihak dan menzalimi pihak lain.
Sebagai masyarakat harus sebisa mungkin memilah dan memilih mana yang menuju
pada persatuan dan hal yang mana dapat memecah persatuan.
Individu memiliki
kebebasan dalam bertindak, selama hal itu tidak merugikan orang lain. Berkorban
adalah salah satu cara kita menjadi individu yang peduli dengan diri sendiri
dan orang lain. Berkorban adalah peribadahan yang multidimensi, satu sisi
menjadi penghambaan kepada Pencipta, di sisi lain ini sebagai bentuk pemerataan
dan hubungan sosial dengan individu yang
lain. Individu bukanlah pemilik mutlak sesuatu hal, kepemilikannya memiliki
cecabang yang berhubungan dengan individu lain. Maka menggunakan
yang bukan mutlak miliknya tidak boleh sembarangan. Ada konsepsi dan tata
aturan yang termaktub dalam kitab suci atau peraturan yang lain.
Berkorban adalah
peristiwa “penghancuran” diri. Semua hal dari diri yang membelengunya
semaksimal mungkin dihancurkan. Berusaha ikhlas untuk mengeluarkan harta,
membeli kambing atau sapi, lalu membagikan dagingnya kepada orang lain bukanlah
semata-mata sebab uang. Mustahil memang jikalau manusia berkorban hanya untuk
pamrih demi tujuan yang sesaat. Ada sesuatu yang jauh untuk diraih. Ada berlian
yang jauh untuk diraih dan sebagai cahaya kelak setelah berpulang pada
keabadian.
Politisasi
Raya Hewan Korban
Budaya baru yang timbul
dari Hari Raya Kurban adalah pelabelan. Hewan kurban yang dikalungi kain selempang.
Ada sapi presiden, selempang nama wakil rakyat, nama bupati dan pejabat
birokrasi yang lain memang sudah begitu jamak. Kejamakan yang sepertinya akan
terus dilestarikan oleh pihak-pihak yang pintar memanfaatkan momen. Menganggap
Idul Korban adalah peristiwa politis. Memang tak ada yang menyalahkan, hanya
peradilan amal yang kelak menghakimi. Bukan tulisan ini atau siapa saja yang
senantiasa menggaungkan pada ajakan untuk keikhlasan.
Hal ini juga berimbas
kepada sekelompok orang, yang memiliki basis orpol (organisasi politik) atau ormas (organisasi masyarakat) yang
demekian juga memakai cara yang sama. Sapi dan kambing yang dikalungi selempang
ormas memang tak ada yang menyalahkan, tak ada saling serang keberadaan hewan
berkalung selempang nama.
Bendera kelompok memang
begitu sakral. Bendera itu harus dikibarkan di mana saja dan kapan saja bila
boleh. Apalagi untuk peristiwa yang melibatkan orang banyak, bendera menjadi
senjata utama untuk mengiris hati massa agar mengakui keberadaan kelompoknya.
Lebih penting mana bendera kelompok atau
keikhlasan?
Sebaiknya kembali pada Katimuran, sebagai pijakan etika. Ini
hanya sebagai etika, sebagai adab yang seharusnya budaya katimuran selalu dipegang teguh tongkatnya. Bukankah bila berinfaq
tangan kiri tak boleh tahu. Ini soal yang lebih besar tentang pendewasaan
peradaban. Hewan korban bukanlah tunggangan politis. Ia adalah hewan kurban
untuk tunganggan menuju yang lebih baik. Hewan yang kelak dengan cahaya yang
begitu terang menuju kepada peradilan yang paling adil. Hewan yang menyucikan
dan menyejahterakan.
Idul adha adalah
penghancuran terhadap kesombongan diri. Kedirian yang seharusnya lebur dan
menyatu dengan diri orang lain, merasa sama dan sederajat dengan orang lain,
merasa senasib dan sepenanggungan sebagai khalifah bumi, dan juga sebagai
makhluk yang diukur tingkat ketakwaan oleh Tuhan, bukan manusia ataupun makhluk
lain.
Agama memunyai fungsi
psikologis dan sosial. (1)Fungsi psikologis yang tecermin di saat kita
beribadah kita hanya mengharap ridha Tuhan, dengan begitu kita mendapat
ketenangan, tak ada yang membuat kita sedih atau risau jika kita beragama. (2)Fungsi
sosial akan mengalir pada akar tujuan bila dalam pelaksanaan aturan agama juga
memerhatikan individu yang lain, sebagai
satu kesatuan sosial yang terkecil. Menghormati orang lain akan menciptakan
religiusitas sosial. Dengan demikian akan menekan ketegangan yang berimbas
pada konflik sosial.
Idul korban menjadi
jembatan untuk menyatukan segenap bagian masyarakat, bukan memetakan
kelompoknya dalam kain selempang hewan korban dan juga daging dengan kupon
organisasi tertentu. Daging korban adalah harus
dengan kupon dan juga label ikhlas untuk semua. Daging yang yak hanya
untuk umat Islam saja, tetapi untuk semua umat manusia. Daging untuk menyatukan
semua umat agar bersatu dalam kerukunan dan kebersamaan social.
Idul korban boleh disebut tonggak pengurbanan tanpa
pamrih, selain ikhlas dan mengharap ridha Allah, tentu tak ada yang lain.
Bersedia berkurban untuk menghormati orang lain, dengan menyimpan ambisi untuk
menunaikan kewajiban diri yang bisa menyakiti orang lain adalah tujuan kita
berkurban. Jangan sampai setiap tahun merayakan hari raya kurban selalu
berakhir dengan membuka penyakit dan memberikan luka untuk orang lain, tentu
kita tak ingin amal ibadah kita sia-sia atau muspra. Siapa berani melabeli hewan korban dengan ikhlas?