Wednesday, September 30, 2020

Surau di atas Bukit

Apa engkau tahu kenapa orang tua itu selalu berada di shaff pertama? Sebelum azan terdengar, akan ada langkah datang, ketukan tiga kali-dua kakinya dan satu tongkat kayu yang licin sebab gesekan tangannya.  Apa engkau juga tahu kenapa ia bisa buta? Tak banyak yang tahu keberadaan dan muasal orang tua itu, sebab ia jarang berdiam di satu masjid. Apa engkau juga tahu berapa masjid yang sudah ia kunjungi? Ah, saya yakin kehadiran orang tua itu mungkin saja hanya menganggu pandanganmu, atau malah menganggu niatmu.



Bila sempat atau sekedar lewat di kota itu pasti akan berjumpa dengan angin yang sejuk. Tanah yang berkelok tak rata. Tanaman hijau menyebar- melayangkan mata pada surga, pada keindahan yang kentara. Gunung Lawu memang elok dalam lukisan sang pencipta, gagah memaku tanah agar tak goyah. Hanya sayang, sungguh memang sayang. Dulu di bukit sebelah timur ada satu bangunan yang terlihat manis. Bangunan mungil yang bila malam cahaya pethromaknya memerangi luas gelap malam di sekitarnya. Sebuah Surau yang senantiasa terdengar alunan orang mengaji, padahal bila siang surau hanya ada mbah Jogo. Tak banyak yang tahu kenapa suara mengaji itu sering terdengar, walau siang hari. Dan kini  surau  itu seolah tanggal dari lukisan, hilang melayang oleh kenangan.

Dan hanya sedikit kisah yang bisa aku dengar tentang orang tua itu. Kisah yang hanya menjadi dongeng sebelum tidur. Sebab kami hanya mendengarnya, sekali lagi hanya mendengar. Kisah yang masuk lewat telinga kanan dan keluar dari kiri, tak benar-benar kami merenungkan yang terjadi. Tentu dongeng tentang orang tua itu. Tentu dongeng tentang surau di atas bukit, dan kejadian yang membuatnya buta.

**

Seperti ada yang lain, sesuatu yang kurang. Suara alunan ayat-ayat suci itu beberapa hari ini tidak terdengar lagi. Pasti dan selalu ditunggunya adalah ketika Ayah pulang dan kemudian terdengar alunan nada yang sangat mendayu, menyentuh  telinganya, bergetar dan perlahan mengalir dan menimbulkan ledakan yang cukup dahsyat di hatinya lalu menaburi segenap jiwanya. Rasa damai, ketenangan dan bergumpal cahaya. Cahaya itu akan ditatapnya, persis seperti dulu.

Duduknya semakin gelisah, badannya yang kecil terlihat semakin mungil, kedua lutut tercium wajah dan ada sedikit kekawatiran.

“Ayah belum pulang, Mak?”

Emak tak menjawab, tangannya masih sibuk dengan ubi, menguliti, memilah, dan mengumpulkan kulitnya pada keranjang. Mimik wajahnya memperhatikan anaknya, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan. Ia tak tahu kenapa suaminya belum pulang.

“Masih lama ya, Mak, Ayah pulang?”

“Masih lama, tidur saja!”

“Belum ngantuk, Mak.”

Sebentar kemudian emak hanya melihat sekilas anak semata wayangnya dengan kasihan. Ia tahu bukan sebab ia belum mengantuk. Emak tahu anaknya itu ingin mendengar suara ayahnya mengaji.

Araaf terus saja gelisah, dengan tertatih mendekat ke meja, tangannya ingin meraih gelas yang berada di meja, tangannya tak sengaja menyenggol gelas yang berisi air dan tumpah. Araaf kaget, air membasahi bajunya. Emak hanya melihat dengan rasa kasihan. Emak selalu teringat pesan Kahar, suaminya bila Araaf jangan sampai terkena kata-kata yang kasar.

“Mak, bajunya basah lagi.”

“Nggak apa, ganti yang kering. Pakai kaos saja!. Ayah akan pulang larut malam.”  

Arraf hanya mengangguk dan lepas menuju lemari pakaian. Semula ia hendak memakai kaos, tetapi diurungkan saat dari luar ayahnya uluk salam. Bola matanya kembali terang.

Araaf akan kembali mendengar bagaimana cerita ayahnya tentang Mbah Jogo, suaranya yang merdu, nasihat sederhana namun meresap di hati. Pendengar seolah akan tergerak mengikuti, walau sebenarnya nasihat yang diberikan sering terdengar. Entah mengapa nasihat yang diberikan Mbah Jogo seolah membentur palung paling dalam dari hati. Konon nasihat Mbah Jogo mudah dilaksanakan sebab sudah diamalkan sendiri, tak sekedar teori yang didapat. Amalan itu telah mengakar dalam hidupnya sehari-hari. Orang yang melihatnya seolah mengikuti yang dikerjakan beliu. 

Begitu juga Araaf yang dengan mudah menunaikan nasihat. Makan  dan minum dengan tangan kanan,  membaca doa, mendoakan orang tuanya, membantu emak mengantar gethuk ke warung-warung. Dan sering ia dengan dari kedua orang tuanya,  Kahar dan istrinya senantiasa bersabar, menjalani hidup dengan banyak bersyukur walau kekurangan. Nasihat yang mudah diterima, dan mudah dijalankan. 

Kahar baru saja membaca taawudz, kemudian dari pintu sudah terdengar salam dan ketukann yang seperti terburu-buru. Wajah Araaf bingung, 

“Siapa, pak?”

“Kita lanjutkan besok saja, baca doa lalu tidur!”

Arraf mencium tangan ayahnya, walau sang ayah pandangannya menuju ke pintu dengan rasa khawatir. Sang emak mengajak anak kecil itu ke kamar, menutup gorden dan meninabobokan.

“Ada yang membakar surau, Kang. Api sudah membakar sebagian, jamaah yang lain masih berusaha menyiram.”

Kahar ragu, apakah akan pamit atau langsung ke surau. Ia ingat pesan Mbah Jogo: Sebaiknya berpamit kepada istri jika ingin bepergian, agar kepergian disertai keikhlasan dan doa. Kahar memutuskan masuk ke kamar menyusul istrinya. Tak berselang lama Kahar keluar dengan tergesa. Keduanya menuju ke Surau.

Sebentar kemudian anak kecil itu berjalan mengendap-endap. Langkahnya pelan agar tak membangunkan emaknya, membuka pintu dan mendapati gelap yang pekat. Ia berlari menuju surau, jalanan setapak turun-naik itu seolah jalanan lebar dan halus. Kaki mungilnya hapal dengan jalanan itu. Setiap hari jalanan itu memberi pesan dan nasihat agar selalu berhati-hati. Setelah mendengar surau milik Mbah Jogo terbakar, pesan itu seolah lenyap. Ia harus berlari dan membantu mencari air untuk menyiram.

Api itu seperti monster menakutkan, memeluk surau dengan kekar. Kaki mungil Arraf bergetar melihat api berkobar dan orang-orang berlarian menyiram. Tiba-tiba terdengar suara ledakan, beberapa kayu terlempar dan mengenai kepala Arraf. Tak ada yang tahu kejadian itu, mereka sibuk dengan air dan Mbah Jogo yang tak kelihatan.

Pagi hari, setelah bangunan surau rata dengan tanah anak kecil itu tersenyum di bawah kayu yang menindihnya. Pandangannya gelap, ia tak melihat siapa-siapa.

“Araaf kenapa kamu di sini.”

Arraf hanya diam, ia tak bisa melihat siapa yang bertanya. Kahar membopong anaknya pulang. Beberapa warga sibuk membersihkan sisa kebakaran.  


**

Sekarang engkau tahu siapa lelaki itu bukan. Kami hanya suka mendengar dongeng ini, dan mungkin kelak anak-anak kami juga akan kami dongengkan hal yang sama. Pernah beberapa tetangga kami yang kebetulan bertemu dengannya hendak memberi uang sebagai penghormatan yang lebih tua,  ia akan menolak. Rasa kasihan menurutnya lebih banyak melupakan dirinya, selama masih ada ia akan menghilangkan rasa iba orang kepada dirinya. Meskipun buta, lelaki itu masih berdagang. Setiap orang yang ditemui tak semuanya ditawari barang dagangannya. Dan bila engkau ditawari batu, terima saja. Sebab batu itu bukan sembarang batu. Itu batu dari olahan tangannya. Batu yang direnteng sejumlah tiga puluh tiga. Dan jangan banyak bertanya bagaimana batu-batu itu bisa direntengnya. Hasil penjualannya akn disisihkan untuk membeli bahan bangunan. Memang, ia telah mengumpulkan beberapa bahan bangunan di rumahnya. Ia bermimpi memiliki surau, walau banyak masjid megah di pegunungan Lawu. Masjid yang katanya sepi itu akan membuatnya tersiksa. Ia ingin membangun surau agar nyaman hidupnya. Dan jangan bertanya tentang tasbih batu itu, sebab jawabnya pasti sama,

“ Agar hatimu tak lekas membatu.”


Omah Gedheg 2012


No comments:

Post a Comment

Palemboko, tempat nyaman penuh pesona

Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan  dan me...