Aku tak lagi
suka dongeng tentang batu, batu kadang tersinggung
Kita melebihkan
cerita, mengungkap rahasia, dan melupakan mula
Bahwa batu
sering berbisik
” jagalah anakku, kelak aku akan menjagamu”
yang sebenarnya tak
banyak orang boleh tahu. Juga pasir-pasir merah jambu itu sering berbisik
“ Aku
datang dengan ikhlas, kenapa kalian menghardikku”
Aku hanya suka dongeng yang ini : Tentang waktu yang lampau, waktu yang
hilang
Ikan-ikan semula hijau, entah kenapa kemudian
berubah ada yang berwarna hitam, merah, ada lagi yang merah menyala. Dari
mulutnya selalu menyebut satu nama, dan bila setiap nama itu berulang banyak
ikan hijau mati, semakin banyak esok hari ikan terkapar, menggeliat dan menepi
dari kali. Tentu kali yang hitam, kali yang bau wangi. Kali yang memantulkan
wajah coklat. Aku ingat tukang pancing : Bila ikan hijau mati, maka merahlah
darah dan mata. Ikan itu telah reinkarnasi menjadi merah dan membakar.
Dan…..
Kita hanya bisa
saling berbisik, tak berani memekik
Walau waktu
berubah peluru, melesap dan menancap
: Kalian
terbiasa mendengar, tak layak tahu batu
Jangan lagi
mendongeng tentang batu
apalagi sang
coklat pekat itu sering berteriak, mengalir dalam darah kita, mendengung di
usus. kadang-kadang menjerit. Suara pekak yang bergantian datang, pergi ingin
kembali
Hanya saja kita
sering alpa : pesan kosong.
Pesan yang salah
ditafsirkan tukang mimpi yang setia menjaga sejarah, kenapa batu itu kembali ke
kota. Dan kita tak lagi mengakrabinya.
(Dipublikasikan DKJT, launching antologi Puisi Pendhapa 2011 dengan judul yang sama)
Omah gedhek 2011
No comments:
Post a Comment