Thursday, May 16, 2013

Tentang Bola


Sudah empat tahun lebih saya tak menikmati aliran bola dari kaki ke kaki, dari kepala ke jaring gawang atau tendangan keras yang membentur  tiang gawang. Selama tak menikmati, juga saya menjauhi pemberitaan mengenai bola. Ini bukan sebab saya membenci bola, sebab sebuah alasan saya tak mau terbawa oleh arus sepak bola yang kadang menyiksa: begadang, bangun malam, makan malam sebab lapar, dan siang hari dengan mata ngantuk juga kepala yang berat. Sepakbola selalu memabukkan, setidaknya bagi saya yang labil, mudah terbawa, dan tak mudah melepaskan sesuatu yang melekat: tentang permainan, gol, pelanggaran atau yang lain.

Kesukaan terhadap sepakbola sudah sekitar tahun 1995 waktu masih sekolah menengah atas. Menjadi broker bagi teman-teman yang ingin taruhan, dan begitulah broker tak pernah kalah. Saya selalu menang, sebagai imbalan mencarikan lawan petaruh. Broker adalah pekerjaan sambilan yang cocok bagi pelajar untuk saat itu dan sangat gampang dilakukan. Saya dengan mudah mendapatkan petaruh untuk sebuah pertandingan.

Oscar Luigi Scalfaro adalah presiden dari  negara yang liga sepak bola nya saya senangi. Saat itu di kotaku ada dua tabloid olahraga, yakni Bola yang terbit seminggu dua kali (Senin dan kamis) dan GO. Liga Italia menjadi sangat begitu penting, sebuah stasiun TV swasta rutin menyiarkan, dan tak menutup kemungkinan dengan siaran dari stasiun TV lain dengan liga Inggris dan Jerman. Hingga secara pribadi saya memunyai tim idola. Sebutlah Juventus (Italia) Arsenal (Inggris) FC Kaiserslautern  (Jerman)

Saat saya tinggal di Jakarta, glidik dan mencoba menimba segala ilmu, jiwa petaruh malah yang berkobar. Petaruh, saya rasa  posisi aman daripada broker untuk level yang lebih tinggi dan sebuah resiko. Banyak pertandingan, laga  antar klub dan negara semuanya tak lepas dari incaran taruhan walau dalam kapasitas ribuan rupiah (bisa bakso, nasi padang, nasi goreng, atau sate). Hingga saya pernah menang sangat besar untuk tebak-tebakan hasil sebuah liga. Anehnya uang itu tak jelas rimbanya, kalau dalam bahasa jawa ora temonjo. Inilah yang menyadarkan saya, uang tak bernilai jika tak tahu nilai sebenarnya dari uang.

Begitulah sejarah dan pengalaman dari sebuah laku penggemar sepak bola. Italia menjadikan saya sebagai manusia yang mencintai negara  seolah bagian dari mereka. Pun saat ini, di rumah tak ada TV, dan tak menonton TV di tetangga, mendengar Italia lolos ke final adalah kebahagian yang tak ternilai. Tentu dengan kadar fanatisme yang lebih kecil saat saya menonton atau menikmati sepak bola itu sendiri. Saya memilih Italia, dan menganggap mereka sudah menang walau Final EURO masih beberapa hari lagi. Salam olah raga.

Omah Gedhek 2012, pagi sekali setelah bunyi telepon yang tak kuangkat.

No comments:

Post a Comment

Palemboko, tempat nyaman penuh pesona

Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan  dan me...