Wednesday, May 1, 2013

Ujian Nasional dan Religiositas Pendidikan




Episode Ujian Nasional akan terus berlanjut. Lanjutan itu seperti kisah sinetron yang bersambung, berkait paut dengan kelok kebijakan dan kerikil kepentingan yang mengikuti, membuat jengkel, mangkel, atau gemas. Bila tak bisa melepaskan diri dari aroma pikat perdebatan Ujian Nasional, kita bisa menjadi manusia yang lepas adab, menjadi penghujat, dan menjadi pendakwa yang tak jujur dengan tersangka.
Ujian Nasional adalah perayaan. Entah perayaan bagi siapapun. Siswa begitu antusias menyambutnya dengan beragam latihan agar bisa memenangi hari itu. Sekolah berdandan agar tampak bersih, menyiapkan sesuatu yang layak dan pantas  bagi tamu yang datang menjadi pengawas dan peserta. Pemangku kebijakan yang lain tak tinggal diam, guyup rukun bahu-membahu agar pelaksanaan perayaan itu menjadi benar-benar puncak perayaan, kalau perlu perayaan penghabisan bagi pesertanya. 
Penghapusan Ujian Nasional adalah sedikit pernyataan yang patut untuk dipertanyakan isi dan tujuannya. Setidaknya saya pernah mengikuti tiga kali ujian di tingkat sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah umum. Tidak ada yang membuat hati kecut untuk menerima tantangan soal, mengisi lembar jawab komputer, datang tertib, di dalam hening, pulang ceria. Kami melewati dengan suka cita. Selayaknya perayaan, tentu kami merasa sedang merayakan perayaan penghabisan dari setiap tingkat. Kami berjuang dengan semangat penghabisan, untuk mendapatkan legitimasi naik tingkat.
Maka yang perlu dikerucutkan tentang pembahasan Ujian Nasional adalah bentuk dan standar pencapaian. Ini tentang bentuk Ujian Nasonal yang diberlakukan sebagai kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau yang lebih  didakwa saat ini adalah Menteri pendidikan dan Kebudayaan. Indikator kelulusan dengan indeks dan nilai masih perlu dibahas. Bagaimana bentuk dan cara Ujian Nasional, sebaiknya tak lepas dengan diskusi dan pembahasan dengan semua pihak. Pendidikan adalah rumah dengan tanah yang luas. Ia bertetangga. Mengajak tetangga berdikusi, menemukan formula mumpuni adalah keharusan. Repacking Ujian Nasional yang ramah dan membumi perlu dikaji dan diejawantahkan. Bukan saling menyalahkan, dan menjadikan diri sebagai pahlawan.
Menghidupkan Religiositas
“Bunda, saya tidak mau ada siswa bodoh dapat nilai bagus. Nanti Indonesia bisa roboh.”
Dialog itu begitu mudah, tetapi sarat makna dan sangat berat untuk disusupkan ke hati pelakon pendidikan di negeri ini. Film dokumenter tentang contek massal pada Ujian nasional 2011 begitu nyata sekaligus satire. Muhammad Abrary Pulungan, siswa SDN 06 Pasanggrahan, Jakarta Selatan, membongkar praktik pembohongan tentang Ujian Nasional yang dilakukan oleh guru dan sekolah. Skenario dusta ini tentu juga diamini orang tua, guru dan kepala sekolah. Pembohongan massal ini kerap terjadi, dan yang pasti semua sudah tahu walau sembunyi-sembunyi.
Pelakon pendidikan harus melihat diri sendiri. Seberapa mereka jujur terhadap apa yang diembannya. Seberapa banyak kadar  religiusitas telah mereka tanamkan kepada dirinya sendiri sebagai pelakon pendidikan. Pendidikan adalah belajar, tak hanya siswa, guru, dan pemangku kebijakan diwajibkan untuk selalu belajar. Selalu mawas dan menjadikan diri mereka terjaga dari hal menjerumuskan sebab posisi ini  memang rawan intimidasi kepentingan. Norma agama dan kebajikan menjadi begitu mudah tereliminasi oleh kebijakan atau tekanan dari beberapa pihak.
Selama ini kitab, riwayat, dan beragam kisah tentang pendidikan hanya dijadikan teks pengetahuan. Sebagian pihak hanya menganggap itu dongeng yang hanya pantas sebagai pengantar tidur atau sebagai pelengkap kisah di waktu kosong. Pelbagai contoh kebaikan, suri tauladan menjadi tak berguna ketika menghadapi ambisi dalam dunia pendidikan. 
Dunia pendidikan yang adiluhung, pernah mengalami keemasan untuk mengurai ilmu pengetahuan itu kini seakan menjadi area manipulatif. Menjadi arena pertarungan kepentingan. Siapa kalah-menang tak nyata, terpenting kepentingan terakomodasi di gerbong pendidikan. Pinjam-tukar kepentingan sudah menjadi skenario dusta yang diamini semua yang berada dalam lingkup area pendidikan.
Menuntut memang  mudah, tetapi lebih berkah adalah membuat diri sendiri menjadi insan yang berkah. Menumbuhkan religiositas dalam dunia pendidikan adalah kewajiban semua pihak, bukan orang yang berada dalam dunia pendidikan saja. Rumah sebagai titik tolak pendidikan sebagaimana yang ditanamkan Ki Hadjar Dewantara di Taman Siswa kembali ditelisik ulang, di-reduksi dengan pendidikan di sekolah. 
Religiositas personal adalah  modal awal memulai segalanya. Hal ini untuk mencapai Religiositas sosial, atau dalam hal ini dalam dunia pendidikan menjadi sangat begitu penting. Jika religiositas personal lepas dan abai, tentu akan fatal akibatnya. Pendidikan yang dirintis pendahulu kita sejak dulu jangan sampai hanya akan menjadi dosa sosial peletak dan pejuang pendidikan. Pendidikan adalah berkembang dan maju, tetapi tak boleh meninggalkan religiositas.  
Kita berharap yang baik-baik saja. Ujian Nasional untuk SMP pekan depan semoga sukses. Semoga penuh kejujuran, kebaikan, keberkahan, agar legitimasi kenaikan tingkat yang diidamkan bukan saja sebagai sarana perayaan penghabisan yang tanpa makna. Mereka harus menjadi manusia yang memiliki kemauan menumbuhkan religoisitas pendidikan nasional, syukur menjadi manusia yang dicita-citakan pendidikan nasioanal kita.

*Mahasiswa FKIP Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.

No comments:

Post a Comment

Palemboko, tempat nyaman penuh pesona

Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan  dan me...