Episode Ujian Nasional
akan terus berlanjut. Lanjutan itu seperti kisah sinetron yang bersambung,
berkait paut dengan kelok kebijakan dan kerikil kepentingan yang mengikuti,
membuat jengkel, mangkel, atau gemas. Bila tak bisa melepaskan diri dari aroma
pikat perdebatan Ujian Nasional, kita bisa menjadi manusia yang lepas adab,
menjadi penghujat, dan menjadi pendakwa yang tak jujur dengan tersangka.
Ujian Nasional adalah
perayaan. Entah perayaan bagi siapapun. Siswa begitu antusias menyambutnya
dengan beragam latihan agar bisa memenangi hari itu. Sekolah berdandan agar
tampak bersih, menyiapkan sesuatu yang layak dan pantas bagi tamu yang datang menjadi pengawas dan
peserta. Pemangku kebijakan yang lain tak tinggal diam, guyup rukun bahu-membahu agar pelaksanaan perayaan itu menjadi benar-benar
puncak perayaan, kalau perlu perayaan penghabisan bagi pesertanya.
Penghapusan Ujian
Nasional adalah sedikit pernyataan yang patut untuk dipertanyakan isi dan tujuannya.
Setidaknya saya pernah mengikuti tiga kali ujian di tingkat sekolah dasar,
menengah pertama, dan menengah umum. Tidak ada yang membuat hati kecut untuk
menerima tantangan soal, mengisi lembar jawab komputer, datang tertib, di dalam
hening, pulang ceria. Kami melewati dengan suka cita. Selayaknya perayaan,
tentu kami merasa sedang merayakan perayaan penghabisan dari setiap tingkat.
Kami berjuang dengan semangat penghabisan, untuk mendapatkan legitimasi naik
tingkat.
Maka yang perlu
dikerucutkan tentang pembahasan Ujian Nasional adalah bentuk dan standar pencapaian.
Ini tentang bentuk Ujian Nasonal yang diberlakukan sebagai kebijakan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau yang lebih didakwa saat ini adalah Menteri pendidikan dan
Kebudayaan. Indikator kelulusan dengan indeks dan nilai masih perlu dibahas.
Bagaimana bentuk dan cara Ujian Nasional, sebaiknya tak lepas dengan diskusi
dan pembahasan dengan semua pihak. Pendidikan adalah rumah dengan tanah yang
luas. Ia bertetangga. Mengajak tetangga berdikusi, menemukan formula mumpuni
adalah keharusan. Repacking Ujian
Nasional yang ramah dan membumi perlu dikaji dan diejawantahkan. Bukan saling
menyalahkan, dan menjadikan diri sebagai pahlawan.
Menghidupkan
Religiositas
“Bunda, saya tidak mau
ada siswa bodoh dapat nilai bagus. Nanti Indonesia bisa roboh.”
Dialog itu begitu
mudah, tetapi sarat makna dan sangat berat untuk disusupkan ke hati pelakon
pendidikan di negeri ini. Film dokumenter tentang contek massal pada Ujian
nasional 2011 begitu nyata sekaligus satire. Muhammad Abrary Pulungan, siswa
SDN 06 Pasanggrahan, Jakarta Selatan, membongkar praktik pembohongan tentang Ujian
Nasional yang dilakukan oleh guru dan sekolah. Skenario dusta ini tentu juga
diamini orang tua, guru dan kepala sekolah. Pembohongan massal ini kerap
terjadi, dan yang pasti semua sudah tahu walau sembunyi-sembunyi.
Pelakon pendidikan
harus melihat diri sendiri. Seberapa mereka jujur terhadap apa yang diembannya.
Seberapa banyak kadar religiusitas telah
mereka tanamkan kepada dirinya sendiri sebagai pelakon pendidikan. Pendidikan
adalah belajar, tak hanya siswa, guru, dan pemangku kebijakan diwajibkan untuk
selalu belajar. Selalu mawas dan menjadikan diri mereka terjaga dari hal menjerumuskan
sebab posisi ini memang rawan intimidasi
kepentingan. Norma agama dan kebajikan menjadi begitu mudah tereliminasi oleh
kebijakan atau tekanan dari beberapa pihak.
Selama ini kitab,
riwayat, dan beragam kisah tentang pendidikan hanya dijadikan teks pengetahuan.
Sebagian pihak hanya menganggap itu dongeng yang hanya pantas sebagai pengantar
tidur atau sebagai pelengkap kisah di waktu kosong. Pelbagai contoh kebaikan,
suri tauladan menjadi tak berguna ketika menghadapi ambisi dalam dunia
pendidikan.
Dunia pendidikan yang
adiluhung, pernah mengalami keemasan untuk mengurai ilmu pengetahuan itu kini
seakan menjadi area manipulatif. Menjadi arena pertarungan kepentingan. Siapa
kalah-menang tak nyata, terpenting kepentingan terakomodasi di gerbong
pendidikan. Pinjam-tukar kepentingan sudah menjadi skenario dusta yang diamini
semua yang berada dalam lingkup area pendidikan.
Menuntut memang mudah, tetapi lebih berkah adalah membuat
diri sendiri menjadi insan yang berkah. Menumbuhkan religiositas dalam dunia
pendidikan adalah kewajiban semua pihak, bukan orang yang berada dalam dunia
pendidikan saja. Rumah sebagai titik tolak pendidikan sebagaimana yang
ditanamkan Ki Hadjar Dewantara di Taman Siswa kembali ditelisik ulang, di-reduksi dengan pendidikan di sekolah.
Religiositas personal
adalah modal awal memulai segalanya. Hal
ini untuk mencapai Religiositas sosial, atau dalam hal ini dalam dunia
pendidikan menjadi sangat begitu penting. Jika religiositas personal lepas dan
abai, tentu akan fatal akibatnya. Pendidikan yang dirintis pendahulu kita sejak
dulu jangan sampai hanya akan menjadi dosa sosial peletak dan pejuang
pendidikan. Pendidikan adalah berkembang dan maju, tetapi tak boleh
meninggalkan religiositas.
Kita berharap yang
baik-baik saja. Ujian Nasional untuk SMP pekan depan semoga sukses. Semoga
penuh kejujuran, kebaikan, keberkahan, agar legitimasi kenaikan tingkat yang diidamkan
bukan saja sebagai sarana perayaan penghabisan yang tanpa makna. Mereka harus
menjadi manusia yang memiliki kemauan menumbuhkan religoisitas pendidikan nasional,
syukur menjadi manusia yang dicita-citakan pendidikan nasioanal kita.
*Mahasiswa FKIP Bahasa
Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.
No comments:
Post a Comment