Dalam ingatan saya, bus tingkat
hanya terbayang samar dalam pikiran. Entah, dulu pernah menemu, melihat atau merasakan bus
tingkat hingga usia saya yang 30-an tahun ini. Bus tingkat dalam bayangan saya kendaraan
trasportasi yang gagah dengan ketinggian kendaraan yang tak biasa, membelah
jalanan, orang-orang minggir, takjub, dan tentu sensasi berada di atas akan
lain. Tentu berbeda dengan kendaraan yang lain. Hanya saja membayangkan ketika
itu terlintas bagaimana untuk naik ke atasnya.
Awal 2011 kota Solo yang
meluncurkan bus tingkat wisata memang menggugah penasaran, hanya sayang saya
masih di Jakarta dan belum sempat naik bus tingkat itu bila pulang ke
Sukoharjo. Rupanya hak saya untuk naik bus tingkat itu ada. Berbekal kebaikan dan
informasi seorang teman, akhirnya tiket sudah ada di tangan. Itupun setelah dua
tahun lebih menunggu.
Bus tingkat yang dinamakan
Werkudara tak setiap hari melaju di jalanan kota Solo. Pada hari Sabtu, Minggu,
dan hari libur bus tingkat itu akan beroperasi. Sebenarnya ada pada hari selain hari
tersebut, tetapi mana mungkin saya sanggup membayar sewa, kalupun harus
mengajak orang jelas mana mau orang Solo naik bus itu dengan tiket 20.000, berapa liter bensin yang diperlukan untuk jarak tempuh yang sama. Tapi ini kan lain.
Pada hari operasional Werkudara
akan berjalan tiga kali, pada pagi jam 09, jam 12, dan jam 15. Kebetulan hari
itu pas satu Muharam, dan kawan-kawan dari Jakarta ngidam naik Werkudara. Alhasil saya sudah berada di dalam bus yang
dingin. Oh ada tangga untuk menuju ke atas, dan saya memilih duduk di bawah
dekat tangga, toh saya sudah hapal kta Solo. Setidaknya saya juga memberi
kesempatan kawan dari Jakarta untuk menikmati kota Solo.
Kebetulan sekali tempat
duduknya empuk dan enak buat bersandar, sambil mendengarkan guide bus tingkat
yang merdu. Ah, kalau tidak malu pasti sudah tidur.
Rute Berangkat
Rute yang dilewati yaitu, dari
kandangnya bus ini menyisir jalanan
stadion Manahan, perempatan Manahan yang terkenal dengan patung Kresna memanah
belok ke kekiri. Sepanjang jalan ini ada Lokananta. Produsen musik, yang
menghasilkan beragam rekaman, dari piringan hitam hingga kaset audio. Saya
pernah mendengar Lokananta, namun jujur jika di sini perusahaan ini berada.
Aneh memang, sebagai warga Solo dan sering melewati jalan Ahmad Yani kok baru
tahu di sini museum itu.
Hingga mentok dan sampai di pertigaan
Kerten, Rumah Sakit Panti Waluyo dan bus belok kiri. Bus menyisir Jalan Slamet
Riyadi, jalan protokol utama kota Solo. Di kanan-kiri beragam gedung
perkantoran, juga tak kalah asing adalah stasiun Purwosari, di tempat ini
favorit saya bercengkerama dengan kereta. Tempat wisata yang murah dan meriah,
sambil wedhangan tentu akan menambah kenangan tak terlupakan. Sayang sekali
Werkudara hanya melintas dan menyisir Slamer Riyadi, dan tentu juga bersisihan
dengan rel yang masih dipakai. Rel ini menuju kota Sangkrah, Sukoharjo dan
Wonogiri. Rel yang pernah membawa saya menuju kota Wonogiri dengan uang 2000
rupiah, sayang kereta feeder satu gerbong itu tiada. Dan Railbus gagal beroperasi.
Ada Loji Gandrung, rumah dinas
walikota Solo yang di dalamnya sungguh eksotis, ada joglo di dalam dan juga
beberapa kereta kencana yang diparkir di
samping kanan rumah dinas yang pernah ditempati Jokowi ini. Setidaknya saya
pernah ke sini, sehingga tahu di dalamnya. Bus ini hanya lewat dan masih
menyusuri Slamet Riyadi, hingga di Gladhag. Bus belok kiri, membelakangi dua
Gupala dan patung gagah Salmet Riyadi. Bus berhenti di depan Bank Indonesia, bangunan cagar budaya kota Solo.
Penumpang boleh turun,
mengabadikan dan memotret moment dengan Werkudara. Di depan ada benteng Vestenburg,
Bank Indonesia, Kantor Pos, dan kantor Walikota Solo.
Setelah melaju melewati Pasar
Gede, bus melintas di rel yang sebelah kanannya adalah stasiun Jebres, stasiun
kereta ekonomi ke arah Barat (Jakarta, Bandung. Semarang) dan Timur (Surabaya,
Kediri, Malang) hingga di perempatan Panggung, belok kanan melintas di RS dr
Moewardi dan Universitas Ngeri Surakarta, terus menuju Taman Wisata Taru Jurug.
Di sini bus berhenti, pergantian tempat duduk—yang atas turun di kursi bawah,
yang semula di bawah duduk di kursi atas untuk menikmati sensasi bus tingkat.
Rute Balik
Bus yang sudah roling posisi
kembali melaju, masih menyusuri jalan Ir. Sutami, belok ke RS dr Moewardi dan
di perempatan Panggung belok kanan. Saya yang ganti berada di atas memang
sungguh lain rasanya. Melihat pemandangan dari bus tingkat agak aneh, namun
asyik. Sayang sekali beberapa kali jendela bus terhalan daun dan ranting dari
pepohonan di pinggir jalan. Tingginya bus Werkudara yang 4, 2 meter belum
membuat dinas terkait membersihkan ranting agar tidak mengenai badan bus.
Perempatan Kepatihan bus belok
kiri, sepuluh meter kemudian belok kanan menyusuri jalan ke Pasar Kliwon, di
sini pemukiman keturuan Arab, sehingga banyak toko yang menjual aksesoris dari
negeri timur tengah itu.
Arus balik hanya melewati
beberapa pasar tradisional, sebutlah Pasar Gading, Gemblegan, dan yang tak
kalah keren adalah Alun-alun selatan
kraton Surakarta. Walau hanya lewat setidaknya memberikan gambaran bahwa
Alun-alun Selatan masih menyediakan ruang bagi wisatawan.
Akhirnya dari Laweyan yang
terkenal dengan kampung batik bus Werkudara melaju ke utara, melintas di Slamet
Riyadi menyusuri jalan Muwardi, melewati lapangan Kota Barat dan kembali ke
kandang.
Perjalanan yang sungguh nikmat,
nyaman yang dilakukan di bus tingkat telah menorehkan pengalaman
tersendiri. Kapan anda akan mencoba!
No comments:
Post a Comment