Wednesday, July 20, 2011

Pendidikan karakter berbasis budaya


  Dr Marvin Berkowitz (University of Missouri, St Louis) menunjukkan peningkatan motivasi siswa dalam prestasi akademik di sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter.

Senin (18/7), Kota Solo mencanangkan pendidikan karakter mulai jenjang PAUD, TK, SD, SMP, SMA hingga SMA dan sederajat. Menurut kami, ini awal yang baik untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita. Pendidikan karakter tak hanya tanggung jawab guru. Seluruh karyawan sekolah, termasuk penjaga dan pengelola kantin wajib bepartisipasi dalam program ini. Bahkan, pendidikan karakter harus melibatkan semua pihak, yaitu orangtua siswa, lingkungan tempat tinggal siswa dan seluruh anggota komunitas sekolah.

Harus kita akui, pendidikan kita sudah lama mengabaikan pembangunan karakter. Sekolah-sekolah kita semakin kapitalistik. Karakter yang dihasilkan dari sekolah kita adalah karakter kapitalistik, manusia yang selalu berpikir transaksional.

Pertanyaannya sekarang, pendidikan karakter yang diimplementasikan di Solo nanti menuju karakter yang mana? Berdasarkan penelitian yang diterbitkan Character Education Partnership dalam buletin Character Educator, hasil studi Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan (kognitif), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek itu pendidikan karakter tidak efektif. Dengan pendidikan karakter, seorang anak menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan.

Kebijakan pendidikan kita—yang kapitalistik itu—selama ini lebih mementingkan aspek kecerdasan otak. Ada yang mengatakan kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10%-20% otak-otak terbaik. Artinya, sebagian besar anak sekolah (80%-90%) tidak dapat mengikuti kurikulum di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum.

Pelajaran berharga dari pendidikan kita selama ini adalah hilangnya kebebasan peserta didik. Siswa-siswa sekolah kita tak berkembang dalam alam pembebasan. Tujuan pendidikan karakter di atas hanya akan tercapai melalui pembebasan, bukan pendidikan yang mengungkung seperti yang selama ini berkembang di negeri kita.

Dalam konteks Kota Solo, pendidikan karakter tentu harus berbasis budaya lokal. Kebudayaan lokallah yang menjadi ibu dan jati diri perkembangan manusia—dalam kerangka pendidikan yang membebaskan itu. Pendidikan karakter yang mengabaikan kearifan lokal pasti akan berujung gegar budaya.(Solo Pos. Rabu 20 Juli 2011, halaman 4.

No comments:

Post a Comment

Palemboko, tempat nyaman penuh pesona

Tak ada habisnya, tempat yang nyaman selalu dicari. Waktu luang, dipergunakan untuk mencari hiburan, menenangkan pikiran, kenyamanan  dan me...